Presiden Didorong Tarik Kembali Surpres RUU KPK
Berita

Presiden Didorong Tarik Kembali Surpres RUU KPK

Dengan penarikan Surpres, Presiden menjalankan perannya sebagai lembaga yang mengoreksi kesalahan DPR.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Menurut Pimpinan Ombudsman, Ninik Rahayu, kedua kondisi diatas tersebut dipandang sebagai keanehan dalam suatu proses administrasi pembentukan UU yang perlu dihindari agar tidak berdampak kepada kesalahan dalam prosedur.

Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhan menyampaikan tanggapannya terhadap pidato Presiden terkait revisi UU KPK. Menurut Kurnia, sikap Presiden dalam pembahasan RUU KPK hanya sedikit saja mengurangi langkah “pelemahan” terhadap KPK. Hal ini bisa dilihat dari beberapa substansi.

Terkait Dewan Pengawas, Kurni menilai antara yang diusulkan DPR dan Presiden hanya berubah dari sisi mekanisme pemilihan. Eksistensi dan fungsinya tetap sama, menjadi perangkat birokratis ijin penyadapan KPK. Hal ini akan mengandung konsekuensi terhambatnya penyadapan oleh KPK. “KPK bisa jadi akan kehilangan momentum untuk menangkap pelaku suap,” ujar Kurnia.

Dalam praktiknya, terdapat potensi penyadapan KPK bisa batal dilakukan jika Dewan Pengawas tidak memberikan ijin. Akibatnya, kerja penegakan hukum KPK akan turun drastis. Menurut Kurnia, argumentasi yang dibangun oleh DPR selama ini terkait dewan pengawas  mudah untuk dibantah.  DPR yang menganalogikan KPK secara kelembagaan saat melaksanakan tugas dan kewenangan tanpa adanya pengawasan yang jelas.

Menurut Kurnia, KPK merupakan lembaga negara independen, yang mana sistem pengawasannya sudah berjalan dengan hadirnya kedeputian Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. “Lagi pun di lembaga negara independen pada belahan dunia manapun tidak mengenal adanya organ khusus pengawasan,” terang Kurnia.

Sementara untuk sektor penindakan sejatinya yang mengawasi KPK adalah institusi kekuasaan kehakiman. Sederhananya, jika seseorang tidak sependapat dengan status hukum atau tindakan paksa KPK maka ranah pengawasannya ada di Praperadilan. Begitu pula ketika masuk pada ranah pokok perkara, dalam hal ini yang mengawasi kinerja KPK adalah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Terkait Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), Kurnia menilai, kekuatan besar KPK adalah pada kehati-hatiannya dalam menangani perkara korupsi. Hal itu pun pernah ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi saat pengujian materi terkait kewenangan SP3 di KPK. Dengan syarat tiga alat bukti harus dimiliki terlebih dahulu, KPK menetapkan status penyidikan dan menetapkan tersangka. Hal ini terjadi karena tidak ada SP3.

Tags:

Berita Terkait