Sejumlah anggota Komisi I DPR menyampaikan keberatan terhadap UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang diundangkan tanpa tanda tangan Presiden Megawati Soekarnoputri. "Penolakan" untuk menandatangani UU Penyiaran tersebut dianggap sebagai upaya Presiden Megawati untuk melepaskan tanggung jawab terhadap konsekuensi diundangkannya UU Penyiaran.
Pernyataan tersebut disampaikan oleh anggota Komisi I DPR dari F-PPP, Achmad Karmani, saat acara Rapat Kerja Komisi I DPR dengan Menteri Negara Sekretaris Negara Bambang Kesowo di Gedung DPR (05/02). Pernyataan yang sama juga diungkapkan anggota Komisi I dari F-Reformasi, Joko Susilo.
"Mungkin sebenarnya Presiden tidak setuju atau tidak mau atau apa. Tapi, karena ini pertama kali. Jadi, saya kira publik ingin tahu apa yang dipikirkan Presdien ketika Presiden memerintahkan hanya Sekneg saja yang meneken UU Penyiaran tersebut," ucap Joko.
Mengenai alasan Presiden tidak menandatangani UU Penyiaran, Bambang mengatakan tidak dapat memberikan jawaban. Namun, ia membantah pernyataan bahwa Sekneg yang mengesahkan UU Penyiaran tersebut.
Menurutnya, UU Penyiaran diundangkan berdasarkan ketentuan UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap RUU yang tidak ditandatangani Presiden dalam waktu 30 hari sejak disahkan DPR akan berlaku otomatis.
Ketentuan hukum yang dimaksud Bambang adalah Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 yang berbunyi, dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Bukan satu-satunya
UU No.32 Tahun 2002 sendiri dinyatakan "telah sah" dan diundangkan pada 28 Desember 2002 dan hanya ditandatangani oleh Sekretaris Negara, Bambang Kesowo. Bambang juga menegaskan bahwa UU Penyiaran bukanlah satu-satunya UU yang diundangkan tanpa tandatangan Presiden.