Presidential Threshold dan Masa Depan Hukum Pemilu
Kolom

Presidential Threshold dan Masa Depan Hukum Pemilu

Hukum justru menjadi beku dan pasif, alih-alih responsif dengan tetap mempertahankan ketentuan presidential threshold.

Bacaan 5 Menit
Radian Syam. Foto: Istimewa
Radian Syam. Foto: Istimewa

Sepanjang tahun 2021, berbagai peristiwa, perdebatan, dan isu hukum muncul dan menjadi perhatian publik. Dan baru-baru ini, di penghujung tahun 2021, salah satu perhatian itu tertuju pada isu hukum Pemilu, yaitu tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau lebih familiar dengan sebutan presidential threshold.

Undang-Undang Pemilu yang berlaku saat ini, yakni UU No. 7 Tahun 2017, telah mengatur persyaratan pengusulan pencalonan presiden dan wakil presiden. Persyaratan tersebut diatur dalam Pasal 222, yakni adanya ambang batas yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk dapat mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Perolehan kursi sebanyak 20% di parlemen atau perolehan suara nasional sebanyak 25% berdasarkan hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya menjadi persyaratan bagi partai politik baik sendiri maupun gabungan untuk bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

Dalam kacamata tujuan hukum, yakni menghadirkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, bagaimanakah kita menilai pengaturan persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden seperti tercermin dalam UU Pemilu saat ini?

Kepastian Hukum

Dalam hierarki peraturan perundang-undangan, konstitusi menduduki posisi tertinggi. Ia mengatur prinsip bagaimana kita bernegara. Sebagai konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur pengusulan pencalonan presiden dan wakil presiden sebagai bagian dari praktik kita bernegara dalam rangka memilih pemimpin.

Konstitusi melalui Pasal 6A angka (2) mengatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Konstitusi tidak mengatur presidential threshold dalam bentuk “persentase” atau ukuran kuantitatif, yakni berdasarkan perolehan kursi atau suara nasional dari hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya seperti terdapat pada UU Pemilu saat ini. Kendati tidak mengatur dalam bentuk persentase, konstitusi bukan tidak memberikan batasan. Konstitusi tetap memberikan batasan, tapi jelas bukan berdasarkan syarat kursi atau suara, melainkan siapa yang berhak mengajukan, yakni partai politik peserta Pemilu.

Dengan batasan tersebut, konstitusi mengatur terciptanya kesetaraan bagi partai politik. Partai politik peserta Pemilu tanpa dibatasi oleh komposisi perolehan suara atau kursi di parlemen berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun, adanya presidential threshold dengan dasar komposisi suara atau kursi di parlemen, seperti dipersyaratkan oleh UU Pemilu, ini justru mengurung, mempersempit, bahkan “menggunting” spirit kesetaraan di antara partai politik yang telah diatur konstitusi dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden.

Konstitusi adalah pembuluh darah negara. Peraturan di bawahnya seperti undang-undang haruslah menjadi pipa untuk mensirkulasikan nilai dan semangat konstitusi. Sebab itu, agar implementasi undang-undang dapat mengarah kembali kepada ide atau jantung konstitusi, undang-undang sebagai penjabaran konstitusi tidak boleh bersilangan dengan apa yang digariskan konstitusi.

Melihat adanya pengaturan presidential threshold dalam UU Pemilu, hal tersebut justru menciptakan kontradiksi atau ketidakselarasan dengan semangat konstitusi, yang sebetulnya telah membuka ruang selebar-lebarnya bagi partai politik peserta Pemilu untuk mengusul calon presiden dan wakil presiden tanpa dibatasi oleh ambang batas perolehan suara atau kursi di parlemen. Inkonsisten ini tentu berakibat tidak terselenggaranya ketertiban atau kepastian hukum yang memegang prinsip mendasar, yakni kesesuaian peraturan turunannya (undang-undang) dengan peraturan yang lebih tinggi (konstitusi).

Keadilan

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota legislatif pada Pemilu 2024 mendatang akan dilakukan serentak. Namun, dengan tetap menerapkan tata cara penentuan calon presiden dan wakil presiden sesuai Pasal 222 UU Pemilu No. 7 Tahun 2017, ini menimbulkan problem mendasarkan mengenai keadilan. Selain mengatur persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden berdasarkan perolehan kursi atau suara sah secara nasional, pasal tersebut juga mengatakan perolehan suara sah atau kursi tersebut didasarkan pada hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Ketentuan ini memantulkan ketidakadilan (unfairness) karena menggunakan ukuran atau hasil Pemilu sebelumnya (Pemilu 2019) untuk Pemilu mendatang yang jelas berbeda (Pemilu 2024). Dampaknya, jelas, partai-partai besar sesuai hasil Pemilu sebelumnya akan memainkan peran sentral, sementara partai kecil atau menengah bakal amat bergantung pada partai besar.

Alhasil, selain tidak menumbuhkan kemandirian dan menguntungkan partai besar, ketentuan menggunakan standar ukuran Pemilu sebelumnya dalam pengusungan calon presiden dan wakil presiden juga dapat menghadirkan kompetisi yang tidak adil dan sehat dalam penyelenggaraan Pemilu.

Keadilan adalah mahkota hukum. Karenanya, hukum harus dapat menjadi perkakas melahirkan keadilan. Namun, yang terjadi, dengan persyaratan ketentuan presidential threshold yang didasarkan pada perolehan suara atau kursi dari Pemilu legislatif sebelumnya—untuk Pemilu yang sebetulnya berbeda—ini tentu adalah hal yang tidak wajar.

Undang-undang yang tidak wajar atau tidak menumbuhkan keadilan bukanlah undang-undang yang baik pada dasarnya. Undang-undang adalah ibarat “aturan permainan”. Agar permainan berjalan adil, setiap pemain harus ditempatkan dalam kedudukan setara, yang tercermin umpamanya dengan kesempatan “start” dari titik yang sama.

Menggunakan ukuran Pemilu sebelumnya untuk Pemilu mendatang, tentu tidak menempatkan peserta Pemilu pada titik “start” yang sama. Ini tentu tidak mencerminkan keadilan karena ada yang diuntungkan dan dirugikan, bahkan terjadi sebelum pertandingan Pemilu yang baru itu dimulai.

Kemanfaatan

Salah satu dinamika yang berkembang saat ini adalah adanya aspirasi tentang penghapusan presidential threshold. Aspirasi ini pada dasarnya sangat beralasan. Bukan semata karena banyak negara di dunia tidak menggunakan presidential threshold, seperti Amerika Serikat atau beberapa negara di Amerika Latin, tetapi juga karena aspirasi tersebut lebih mendekatkan Indonesia pada nilai demokrasi.

Indonesia, sebagaimana ditegaskan oleh konstitusi, menganut kedaulatan rakyat. Artinya, demokrasi merupakan pilihan kita bernegara. Dalam alam demokrasi, warga negara (demos) berada pada tempat terhormat. Aspirasi bukan datang dari lembaga atau institusi (politik atau hukum), melainkan dari warga negara untuk kemudian diwujudkan oleh institusi tersebut. Supaya tidak ada aspirasi warga negara yang tercecer, termasuk aspirasi politik tentang calon presiden dan wakil presiden yang akan dipilih, maka saluran untuk aspirasi tersebut haruslah dibuka selebar-lebarnya oleh negara dengan sistem demokrasi.

Pada titik ini, presidential threshold mengurangi kualitas demokrasi. Presidential threshold berpotensi membatasi pilihan warga negara karena terbatasnya nama-nama calon yang sesuai dengan aspirasi warga negara, yang mana dalam konteks Indonesia sangat heterogen. Akibatnya, aspirasi politik yang berbeda dapat tersumbat lantaran tidak mendapatkan saluran.

Hukum sejatinya adalah sarana pembaharuan, yakni memfasilitasi tercapainya cita-cita bernegara kita, yaitu mewujudkan alam demokrasi dengan membuka seluas-luasnya kesempatan untuk dipilih dan memilih, termasuk dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden. Namun, ketentuan presidential threshold yang diatur dalam UU Pemilu justru tidak memfasilitasi hal tersebut. Alhasil, kemanfaatan hukum sebagai sarana atau instrumen untuk mencapai kualitas demokrasi menjadi terhalang. Hukum justru menjadi beku dan pasif, alih-alih responsif dengan tetap mempertahankan ketentuan presidential threshold.

Masa Depan Hukum Pemilu

Konstitusi kita telah menyatakan Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum bukan ditandai semata hadirnya peraturan perundangan-undangan, melainkan juga apakah peraturan tersebut mengantarkan kita pada tujuan hukum, yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. UU Pemilu saat ini harus dapat pula mengantarkan kita kepada tujuan hukum itu, termasuk dalam soal pengusulan calon presiden dan wakil presiden dilakukan.

Namun, hal tersebut tampaknya masih jauh panggang dari api. Presidential threshold seperti diatur UU Pemilu dari sudut pandang tujuan hukum masih menyisakan problem fundamental, baik dari sisi kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Kita tentu menginginkan adanya hukum yang dibuat menampung ketiga unsur tersebut, termasuk dalam hukum pemilu.

Memasuki tahun baru 2022, ini adalah titik awal kita memikirkan kembali masa depan hukum pemilu, termasuk dalam mencapai kualitas demokrasi yang lebih baik. Dalam konteks ini, kita berharap ke depan hukum pemilu dapat mengantarkan kemeriahan kepada kita semua untuk bisa melihat pelangi, yakni keragaman warna warni calon pemimpin bangsa, yang kelak dipilih dan diputuskan untuk menahkodai kapal besar bernama Indonesia. Sejatinya, pemilu dalam hal ini pemilihan presiden bukan hanya pada prosedural semata namun ada nilai suara dan/atau daulat rakyat yang harus dijaga sebagai hakikat utama dari nilai-nilai demokrasi.

*)Dr. Radian Syam, SH. MH, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait