Pro Kontra Rencana Pembuatan Peraturan untuk Melindungi Pejabat Publik
Fokus

Pro Kontra Rencana Pembuatan Peraturan untuk Melindungi Pejabat Publik

Diskresi adalah kebijakan dari pejabat yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar UU, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Oleh:
Aru
Bacaan 2 Menit
Pro Kontra Rencana Pembuatan Peraturan untuk Melindungi Pejabat Publik
Hukumonline

 

Mereka menuding pemerintah berencana untuk mengalihkan kasus korupsi dalam pembuatan kebijakan yang seharusnya masuk ke ranah hukum pidana menjadi hanya sekedar pelanggaran administratif. Jika peraturan ini jadi dibuat dan diterapkan, SITA khawatir proses hukum atas para koruptor akan terhambat. Apalagi, jika aturan ini dibuat dengan tingkatan Perppu.

 

Memang, pengalaman membuktikan pejabat yang dituduh korupsi selalu berusaha mengalihkan pertanggungjawaban pidana menjadi pertangungjawaban administrasi. Misalnya saja kasus Akbar Tanjung dan Said Agil Husein Al Munawar.

 

Jika demikian, maka hal itu akan mengesampingkan UU Korupsi, buat apa ada lembaga pemberantasan korupsi seperti Timtas Tipikor dan KPK, ujar Hermawanto dari LBH Jakarta. Dijelaskannya, sesuai dengan asas hukum, jika ada dua peraturan mengatur hal yang sama, maka peraturan yang lebih baru akan mengesampingkan UU yang lama. Kesimpulannya, Perpu perlindungan pejabat akan meniadakan UU 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

 

Mendukung pendapat Hermawanto dengan data, IZ. Fahmi Badoh, Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, menyatakan, korupsi akan tumbuh subur jika peraturan ini terealisasi. Pasalnya, salah satu penyebab maraknya korupsi di Indonesia adalah kebijakan publik yang kolutif dan monopolistik. (lihat attachment)

 

Hal tersebut tercermin dalam fakta bahwa pelaku utama korupsi pada 2004 adalah kalangan DPRD. Sedangkan tahun 2005, juara korupsi dipegang oleh pejabat Pemerintahan Daerah. Umumnya, mereka terjerat kasus korupsi dengan modus penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

 

DPR Mendukung

Boleh saja kalangan LSM menolak rencana tersebut, namun, sama seperti Zaenal Maarif, Gayus Lumbuun anggota Komisi III DPR mendukung rencana Kalla. Saya melihat hubungannya dengan konsep atau doktrin hukum administrasi Negara, itu memang dimungkinkan. Artinya, pejabat publik tersebut diberikan ruang yang bernama diskresi, ujar Gayus yang juga guru besar hukum administrasi Universitas Krisnadwipayana.

 

Diskresi menurut Gayus adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan UU, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

 

Artinya, secara hukum mungkin ia melanggar, tetapi secara azas ia tidak melanggar kepentingan umum dan itu merupkan instant decision (tanpa rencana) dan itu bukan pelanggaran tindak pidana, jelas Gayus. Soal diskresi, cukup menarik jika kita melihat teori korupsinya Robert Klitgaard; C=D+M-A (Corruption = Discretionary + Monopoly – Accountability).

 

Menanggapi tudingan beberapa kalangan yang menyatakan upaya ini sebagai bentuk perlindungan terhadap koruptor, Gayus menampik. Sebagai perbandingan, ia mengungkapkan jika hal serupa pernah dilakukan semasa penjajahan Belanda, dimana seorang pejabat publik diberikan ruang untuk membuat kebijakan-kebijakan diluar UU. Sebagai ahli hukum administrasi, Gayus mengingatkan agar masyarakat jangan hanya terbiasa dengan hukum pidana dengan mengesampingkan hukum yang lain.  

 

Meski mendukung ide Kalla, Gayus tidak sependapat dengan perpu sebagai pilihan bentuk payung hukumnya. Pasalnya, tidak ada kegentingan memaksa sebagai syarat dibentuknya perpu. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah merevisi UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara atau membuat UU baru.

 

Jalan Tengah

Berbeda dengan kalangan LSM dan Gayus, Safri Nugraha, pengajar hukum administrasi negara Universitas Indonesia melihat rencana pembuatan perpu perlindungan pejabat publik sebagai suatu dilema. Dilema antara penegakan korupsi dengan kepastian bekerja dari birokrat.

 

Disinggung fakta takutnya banyak pejabat untuk menjadi pimpro dan tudingan pengalihan pertanggungjawaban pidana menjadi pertanggungjawaban administrasi, Safri menyatakan, Itu dua-duanya benar. Memang bisa dikatakan ini menghambat pemberantasan korupsi, tapi disatu sisi ini memang untuk memperlancar kinerja pemerintahan. Mestinya tugas pemerintah memberikan semacam informasi kepada pejabat publik bagaimana bekerja dengan baik sesuai dengan AUPB, ujar Safri.

 

Terkait dengan diskresi dalam kebijakan, Safri menyatakan jika batasan diskresi sampai saat ini masih kurang jelas, alias abu-abu. Kendati demikian, abu-abunya batasan diskresi akan terjawab dalam RUU Administrasi Pemerintahan yang saat ini sudah sampai tahap draft final.

 

Menurut saya jangan terlalu banyak Perppu. Dorong saja RUU Administrasi Pemerintahan tahun ini selesai. Di situ kan juga memberikan perlindungan hukum kepada pejabat dan masyarakat, ujar Safri menyinggung bentuk payung hukum perlindungan pejabat publik.

 

Masih menurut Safri, jika RUU Administrasi Negara ini disahkan menjadi UU, maka pengaturan terhadap diskresi kebijakan yang diambil pejabat publik akan lebih jelas. Jika diskresi yang diambil menimbulkan kerugian negara, maka Pengadilan Tata Usaha Negara dapat menguji diskresi yang diambil. Bila PTUN memutuskan diskersi itu salah, maka dapat diseret kewilayah pidana. Jadi diskresinya diuji dulu di PTUN, ujar Safri yang menjelaskan perluasan kewenangan PTUN dalam RUU Administrasi Pemerintahan. 

Dalam sebuah rapat Partai Golongan Karya (Golkar), (21/5), Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum Partai Golkar mengungkapkan rencananya untuk membuat aturan yang akan melindungi pejabat publik. Rencana Kalla ternyata mendapat dukungan dari Wakil Ketua DPR, Zaenal Maarif. Mereka berdua beralasan aturan tersebut harus dibuat untuk menghilangkan ketakutan para pejabat publik akan jeratan korupsi.

 

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan pada 2006, banyak pejabat publik baik di pusat maupun di daerah tidak bersedia menjadi pimpinan suatu proyek (Pimpro). Seperti yang disampaikan Kalla dan Zainal, mereka menolak menjadi pimpro karena takut terjerat korupsi.

 

Rencana Kalla yang diamini Zainal tersebut mengundang reaksi dikalangan masyarakat. Misalnya Aliansi Kota (SITA) yang terdiri dari beberapa LSM; LBH Jakarta, Seknas FITRA, ICW, KRHN, TI Indonesia, Formappi dan PSHK. Dalam konferensi persnya, Selasa (6/6), SITA dengan tegas menolak rencana pemerintah untuk membuat peraturan untuk melindungi pejabat publik dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

Tags: