Pro Kontra Status Anak Luar Kawin
Fokus

Pro Kontra Status Anak Luar Kawin

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Undang-Undang Perkawinan diapresiasi dan dikecam. Bisa berimplikasi pada nasab, waris, dan perwalian.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Pro Kontra Status Anak Luar Kawin
Hukumonline

Nama penyanyi Machica Mochtar mungkin akan dikenang sebagai orang yang membawa perubahan pada UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Selama 38 tahun berlaku, diwarnai suara pro dan kontra, UUP nyaris tak tersentuh.

Sekalipun M Insa pernah ‘menggugat’ aturan yang mempersulit poligami dalam UUP empat tahun lalu, langkah warga Bintaro Tangerang itu kandas di tangan Mahkamah Konstitusi. Upaya para aktivis perempuan, termasuk Komnas Perempuan, meminta revisi UUP ke DPR dan Pemerintah juga belum membuahkan hasil.

Hingga akhirnya, Machica Mochtar datang. Perempuan asal Makassar ini mempersoalkan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP. Ia ingin memperjelas status M Iqbal Ramadhan, anak yang lahir dari perkawinannya secara agama dengan pria bernama Moerdiono.


Perjuangan Machica dan tim pengacara selama satu setengah tahun di Mahkamah Konstitusi membuahkan hasil. Mahkamah seolah memberikan kado istimewa sebulan sebelum ulang tahun sang penyanyi dangdut. Rumusan dalam UUP, anak luar kawin hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, dibatalkan. Berdasarkan putusan Mahkamah, anak luar kawin juga mempunyai hubungan darah dan hubungan perdata dengan ayahnya.

Semangatnya, Mahkamah ingin menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum. “Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih disengketakan,” begitu antara lain pertimbangan Mahkamah.

Anak luar kawin, secara sederhana, diartikan sebagai anak yang dilahirkan seorang perempuan, sedangkan perempuan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama dengan pria yang membuahinya. Dalam konsep hukum perdata, anak luar kawin itu bisa lahir dari orang tua yang salah satu atau keduanya terikat dengan perkawinan lain. Artinya, secara hukum, anak tersebut lahir dari hubungan zina.  Pasal 44 ayat (2) UUP memberi wewenang kepada pengadilan untuk memutuskan sah tidaknya seorang anak yang dilahirkan isteri berdasarkan permintaan salah satu atau kedua belah pihak.

Bisa juga ibu dan ayahnya sama-sama masih lajang, sehingga anak disebut anak luar nikah. Berdasarkan UUP, anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Kompilasi Hukum Islam menyebutkan seorang perempuan hamil di luar nikah hanya dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Jika si pria menikahinya, maka anak yang lahir menjadi anak sah. Pasal 272 KUH Perdata juga menyebutkan demikian. Pengakuan si ayah terhadap anak biologisnya membawa konsekuensi adanya hubungan perdata (Pasal 280 KUH Perdata). Ibu dan/atau ayah dapat meminta ke pengadilan untuk mengesahkan status anak tersebut. Lihat misalnya penetapan PN Cilacap No 29/Pdt.P/201/PN.CLP tanggal 18 April 2011 lalu, yang menyatakan bahwa para pemohon mengesahkan seorang anak yang lahir di luar nikah sebagai anak sah dari para pemohon.

Bagaimana kalau ayah biologis menolak mengakui atau ia mengingkari sang anak seperti dimungkinkan dan dipersyaratkan dalam Pasal 251 KUH Perdata atau Pasal 101 Kompilasi Hukum Islam? Malah dalam konsep hukum perdata, Pasal 287 KUH Perdata, dilarang menyelidiki siapa ayah seorang anak. Norma ini dihubungkan dengan Pasal 285-288, 294 dan 332 KUH Pidana (persetubuhan di luar perkawinan).

Dalam praktik, sering terjadi anak luar kawin tak mendapat kejelasan atau tidak dibuktikan ayah biologisnya. Inilah yang mendasari pandangan Mahkamah, bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti test DNA (deoxyribonucleic acid), atau sistim pembuktian hukum, dapat dipergunakan untuk memperjelas ayah biologis anak.

Norma hukum ‘anak luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya’ membawa konsekuensi antara lain pada akta kelahiran. Pada akta kelahiran biasanya hanya tertulis nama ibu yang melahirkan. Sekalipun ayah biologis berusaha merebut si anak lewat jalur pengadilan, umumnya pengadilan tetap mengukuhkan hubungan perdata anak hanya dengan ibunya. Pasal 55 ayat (1) UUP menyebutkan asal usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh pejabat berwenang.

Putusan kasasi
 Mahkamah Agung No 9 K/Pdt/2004, misalnya, menegaskan anak yang diperebutkan adalah anak luar kawin yang dilahirkan dari hubungan penggugat dan tergugat, tetapi hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu. Si ibu diberi hak untuk menguasai, mendidik, dan mengasuh dalam arti seluas-luasnya anak luar kawin. Ada banyak putusan pengadilan sejenis, yang menegaskan hubungan perdata anak luar kawin hanya dengan ibunya.

Dalam bukunya, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia (2006), hakim agung Abdul Manan, menyebutkan hubungan perdata anak luar kawin dengan ayah biologisnya menimbulkan kewajiban timbal balik dalam hal pemberian nafkah, perwalian, hak memakai nama, dan mewaris.

Bukan legalisasi zina
Raison d’etre putusan Mahkamah sedikit banyak bisa dibaca dari tulisan Ketua MK, Moh. Mahfud MD, di Sindo beberapa hari setelah putusan. Berbekal pengalaman melihat teman kuliah yang menikah siri guna menghindari zina. Gara-gara pernikahan mereka tak tercatat, anak hasil perkawinan tersebut menghadapi kesulitan mendapatkan administrasi kependudukan. Apalagi kalau ayah biologis tak mau melakukan istbat (pengakuan) atas anak.

Bisa jadi, tulis Mahfud, penyusun UUP bermaksud baik, yakni mencegah  lelaki kawin secara diam-diam dengan cara mengibuli masyarakat, juga bermaksud agar perempuan tidak mau dinikahi secara siri. Tetapi faktanya masih banyak orang melakukan kawin siri dengan dalih diperbolehkan agama. Padahal, jelas Mahfud, yang sah menurut agama tak boleh berakibat mengorbankan anak yang dilahirkan. Ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP “tidak adil dan melanggar moralitas hukum”.

Putuan MK menegaskan anak luar nikah mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan bapaknya sekaligus. Menurut Mahfud, ketentuan ini berlaku bukan hanya bagi mereka yang kawin siri, melainkan berlaku juga bagi mereka yang kawin kontrak, kawin mut’ah, bahkan bagi mereka yang berzina.

“Pokoknya, siapapun yang menggauli perempuan dan melahirkan anak darinya, maka dia punya hubungan perdata dengan anak yang dilahirkannya,” tulis Mahfud dalam kolom di harian
Sindo.

Lantaran putusan MK memberi perlindungan dan status hukum kepada anak luar kawin, termasuk hasil zina, maka muncul rumor bahwa MK melegalisasi perbuatan zina dan kumpul kebo karena toh kelak anak hasil hubungan gelap itu diakui secara hukum. Gara-gara rumor ini, Mahkamah Konstitusi sampai menggelar konferensi pers khusus pada 7 Maret lalu.

Dalam konferensi pers itu, hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menegaskan putusan MK semata berupaya melindungi anak luar kawin yang tidak berdosa, bukan membenarkan tindakan perzinahan atau samenleven. “Ada penafsiran di masyarakat seolah-olah MK menghalalkan perzinahan. Hal itu tidak ada sama sekali dalam putusan. Harus dipahami antara memberikan perlindungan terhadap anak, dan persoalan perzinahan merupakan dua rezim hukum yang berbeda,” ujar Fadlil.

Apresiasi dan Kritik
Putusan Mahkamah Konstitusi No 46/PUU-VIII/2010 akan membawa konsekuensi luas dan mengubah kelaziman. Anak tak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu, tetapi juga dengan ayah. Ada semangat perlindungan anak lepas dari status perkawinan orang tuanya.

Itu sebabnya Komnas Perempuan menyambut positif putusan MK karena sejalan dengan konstitusi dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (UU No 7 Tahun 1984). “Putusan ini meneguhkan pelaksanaan jaminan hak konstitusional bagi anak,” demikian bunyi pernyataan resmi Komisi yang diterima hukumonline.

Sepekan setelah putusan MK dibacakan, komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming, membuat sebuah artikel yang memuji putusan Mahkamah Konstitusi sebagai ‘terobosan spektakuler’. Menurut Daming, ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UUP memerkosa rasa keadilan dan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia yang dijamin Pasal 28B ayat (1) dan (2) serta Pasal 28D ayat (1).

Sebaliknya, sebagian kalangan ulama Islam melayangkan kritik. Jika anak luar nikah diakui bisa membawa implikasi bahwa perkawinan orang tuanya dianggap sah. Petugas KUA kemungkinan akan menolak memberikan buku nikah orang tua anak luar kawin karena mereka tidak pernah nikah secara resmi. “Alangkah baiknya putusan itu dikaji ulang,” kata Syamsuar Basyariah, Ketua ICMI Aceh Barat, seperti dikutip Antara.

Putusan MK juga dinilai akan membuat repot pembagian waris. Dalam praktik selama ini, tidak semua anak luar kawin memperoleh waris. Jika anak luar kawin mempunyai hubungan perdata dengan bapaknya maka si anak juga menjadi ahli waris terhadap ayah biologisnya.

Sebulan setelah putusan MK tersebut, Majelis Ulama Indonesia juga mengeluarkan fatwa No 11 Tahun 2012. Fatwa ini dibuat untuk menjawab pertanyaan masyarakat atas hal-hal yang tidak jelas dalam putusan MK. MUI mengingatkan antara lain bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah waris, dan nafaqah dengan lelaki yang menyebabkan kelahirannya. Tetapi MUI juga mengingatkan bahwa pemerintah wajib melindungi anak hasil zina dan mencegah terjadinya penelantaran.

Harapan
Putusan MK mengenai anak luar kawin mungkin akan terus menuai polemik. Apapun materi perdebatan tentang putusan MK tersebut, Komnas Perempuan meminta agar hakim-hakim peradilan menggunakan putusan MK dalam memutus perkara terkait hak anak pada hubungan perdata dengan ayah biologisnya. Komnas Perempuan juga meminta pemerintah mensosialisasikan putusan MK lintas sektor karena membawa implikasi yang sangat luas.

Terkait dengan putusan itu, MUI merekomendasikan agar pemerintah memberikan kemudahan layanan akta kelahiran kepada anak hasil zina, tetapi tidak menasabkannya kepada lelaki yang menyebabkan kelahirannya.

Apapun perdebatannya, para pihak sepakat bahwa anak luar nikah pun berhak mendapatkan perlindungan hukum. Termasuk mengetahui siapa kedua orang tuanya. Pasal 7 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan secara tegas: “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri”. Lema ‘orang tua’ dalam norma itu tentu bukan hanya ibu.

Percayalah, Machica bukan satu-satunya perempuan yang mengalami nasib serupa. Ada banyak perempuan yang ingin memperjuangkan status anaknya yang lahir di luar perkawinan yang sah.

Tags: