Prof Hikmahanto: Pengadilan Rakyat itu Sandiwara
Berita

Prof Hikmahanto: Pengadilan Rakyat itu Sandiwara

Pengadilan rakyat ini tidak dikenal oleh hukum, sehingga penegakan putusannya pun tidak ada.

RIA
Bacaan 2 Menit
Hikmahanto Juwana. Foto: SGP
Hikmahanto Juwana. Foto: SGP
Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Prof Hikmahanto Juwana mengatakan pengadilan rakyat layaknya sandiwara. Hal ini disebabkan tidak ada aturan hukum yang mengatur mengenai pembentukan, dan proses acara yang berlaku dalam pengadilan rakyat ini.

“Pengadilan rakyat ini sebenernya nggak dikenal. Nggak ada itu. Cuma ini merujuk pada pengadilan rakyat yang terkait kejahatan seksual yang dilakukan Jepang saat Perang Dunia II yang dibentuk tahun 2000. Pengadilan rakyat ini adalah pengadilan yang diinisiatif orang-orang aja sebenarnya,” tutur Hikmahanto saat dihubungi hukumonline.

Oleh karena pengadilan rakyat ini tidak dikenal oleh hukum, sehingga penegakan putusannya pun tidak ada. Menurut Hikmahanto, pemerintah dapat menolak putusan dari pengadilan rakyat. “Mereka yang membuat ini dengan tujuan dapat memberi rekomendasi kepada pemerintahan agar menyelesaikan masalah di tahun 1965, juga tahu soal itu,” imbuhnya.

Secara pribadi, Hikmahanto tidak menyalahkan orang-orang yang menciptakan pengadilan rakyat untuk tragedi 1965, yang disebut-sebut sebagai pembantaian Partai Komunis Indonesia (PKI) ini. Sebagai satu upaya untuk memberi desakan kepada pemerintah boleh saja proses ini digelar, sebutnya. Namun ia menyayangkan tindakan tersebut.

“Nggak usah lah diselesaikan di luar negeri dan juga nggak usah dibawa ke ranah pengadilan di Indonesia. Kita paham ini beban sejarah. Itu jangan kita lupakan. Hanya biarkanlah ini peristiwa pernah ada, tapi jangan menggunakan kacamata hari ini untuk kejadian lalu. Jangan sampai membuat kita pecah lagi,” ujarnya.

Dikatakan Hikmahanto, sudah tidak perlu lagi mencari siapa yang salah karena ini akan membuka kontroversi yang nggak berkesudahan. Utamanya, lanjut dia, kita tentu nggak mau sampai terjadi semacam perang saudara di Indonesia.

Hal lain yang disayangkan oleh Hikmahanto adalah tindakan Pemerintah Belanda yang bersedia tempatnya dijadikan sebagai kedudukan Pengadilan Rakyat 1965. Pemerintah Belanda seharusnya lebih sensitif karena hal tersebut akan menimbulkan kecurigaan dari masyarakat Indonesia.

“Eh Belanda, Pembantaian Westerling (di Makassar) kenapa nggak kita adili aja sekarang di sini? Kenapa sekarang G30SPKI? Jangan-jangan kamu punya agenda tertentu?” itu lah hal-hal yang bisa saja ada di benak masyarakat atas berlangsungnya Pengadilan Rakyat di Den Haag ini, Hikmahanto mencontohkan.

“Kalau perlu ya, Pemerintah Belanda menunjukkan keberpihakannya, dengan bilang agar diakhiri saja persidangan yang akan dilangsungkan sampai tanggal 13 itu. Tidak perlu menunggu sampai nanti ada rekomendasi dan sebagainya,” katanya melalui sambungan telepon.

Hal ini disarankan oleh Hikmahanto guna menjaga hubungan baik antara Indonesia dengan Belanda. Itu lebih besar kepentingannya. “Karena rakyat kita belum tentu semuanya bisa terima kalau masalah ini dibawa ke luar negeri; masalah PKI dibuka lagi. Kan begitu,” ungkapnya.

Makanya, kalau keluar putusan, ngga usah sama diikuti, abaikan, tegas Hikmahanto. “Orang kita ngga pernah ngakuin. Ini kan lembaga dibuat oleh orang. Misalnya saya ngajak kamu, ‘kita bikin pengadilan rakyat yuk’. Kita panggilin saksinya dari korban aja. Nah kalau begitu udah pasti pemerintah salah kalau mengikuti,” ujar Hikmahanto.

“Apalagi ini dilakukannya di luar negeri. Kan waduh. Ini pengadilan pura-pura. Kayak sandiwara aja, ngapain kita serius banget. Publik juga ngga usah terpancing lah,” lanjutnya.

Dimintai tanggapan terpisah, Prof. Sunaryati Hartono mengatakan, “cuma satu hal yang bisa saya sampaikan. Memalukan!” Ditemui usai diskusi di Kantor Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Sunaryati mengatakan, bahwa tidak seharusnya orang-orang ini membawa sejarahnya ke dunia internasional.

“Negara ini kan ibaratnya keluarga aja ya. Jangan kita itu menyebarkan aib keluarga kita ke orang lain. Jangan kalau misalnya suami saya nikah sama orang lain, terus saya bilang-bilang sama tetangga. Itu memalukan,” ucap Guru Besar FH Universitas Padjajaran, Bandung, ini.
Tags: