Profesor I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani dan Jalan Mengatasi Konflik Tenurial
Perempuan dan Pendidikan Hukum:

Profesor I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani dan Jalan Mengatasi Konflik Tenurial

Mengusung gagasan sarjana hukum yang berintegritas, humanis dan berprinsip pada keadilan, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani memimpin Fakultas Hukum UNS Surakarta. Karya ilmiahnya banyak berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

Persoalan konflik antara warga masyarakat dengan pengusaha perkebunan, atau sesama warga yang berdiam di sekitar kawasan hutan masih belum sepenuhnya teratasi. Konflik tak hanya di atas kertas dan di ruang sidang pengadilan, tetapi juga konflik yang bermuara pada kekerasan fisik dan senjata. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bahkan mencatat konflik tenurial berimplikasi pada pengabaian hak-hak politik warga masyarakat adat yang tinggal di sekitar kawasan hutan.

 

Indonesia memiliki wilayah hutan yang luas dan jumlah penduduk yang sangat banyak. Semakin lama kebutuhan atas tanah dan sumber daya alam semakin tinggi. Ketika kepentingan berbeda atas tanah, air, dan sumber daya alam lainnya bertemu, maka konflik tenurial berpotensi terjadi. Dalam periode 2015-2016 saja tak kurang 159 pengaduan konflik tenurial. Data ini disampaikan Prof. Ayu dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar. Penelusuran hukumonline ke Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memperlihatkan jumlah penanganan pengaduan konflik, tenurial dan hutan adat mencapat 419 pengaduan.

 

Jenis konflik tenurial yang terjadi di Indonesia sangat beragam. Dapat berupa konflik antara masyarakat adat dengan KLHK atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR); antar warga transmigran dengan masyarakat lokal; antara petani dan makelar tanah; antara masyarakat lokal dengan pemegang izin kehutanan; atau antara pemegang izin kehutanan dan izin pertambangan. Lantas, apa penyebab terjadinya konflik tenurial? Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Ayu menyinggung dua hal penting. Pertama, Undang-Undang Kehutanan menggunakan kerangka hutan politik dan teritorialisasi penguasaan negara terhadap hutan. Kedua, penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi tidak koheren dengan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang berorientasi pada konservasi dan kesejahteraan rakyat.

 

Profesor Ayu menaruh perhatian besar pada penyelesaian konflik tenurial. Bisa dikatakan ini menjadi bagian dari kepeduliannya pada isu besar green government, baik pada tingkat lokal maupun nasional dan internasional (Salah satu tulisannya yang relevan adalah ‘Local Policy Construction in Implementing Green Governance Principle). Salah satu kritiknya terhadap peraturan perundang-undangan adalah keberpihakan lebih kepada investor ketimbang aspek konservasi dan kepentingan rakyat. Dari 12 Undang-Undang yang mengatur sumber daya alam, hanya ada empat Undang-Undang yang secara proporsional mengutamakan keberpihakan pada konservasi dan pro-rakyat, yakni UUPA, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2009, dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

 

Menurut ibu dua anak ini, perbedaan cara pandang pemangku kepentingan terutama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat hukum adat mengenai fungsi hutan termasuk sumber konflik yang sulit diatasi. “Perbedaan makna hutan berkaitan dengan tata nilai yang mendasari aspirasi, artinya pilihan untuk memperoleh atau tidak memperoleh hak atas hutan,” paparnya dalam pidato pengukuhan yang salinannya diperoleh hukumonline.

 

Untuk mengatasi perbedaan cara pandang para pemangku kepentingan memang tak mudah. Memperkuat interaksi antar pemangku kepentingan dapat menjadi jalan keluarnya. Semakin berkualitas interaksi, ada kemungkinkan memunculkan kesadaran di masing-masing pihak mengatasi konflik di antara mereka. Mengutip ilmuan Norwegia, Johan Galtung, Prof. Ayu menyebutkan bahwa kualitas interaksi personal dapat dibangun melalui dialog yang didasarkan pada prinsip keberterimaan tanpa syarat.

 

Peranan HAN

Prof. Ayu percaya HAN dapat digunakan untuk mengatasi konflik tenurial, baik dalam konteks pengawasan (pencegahan) maupun penegakan hukum (penindakan). Dalam pencegahan, pemerintah perlu menggunakan instrumen perizinan sebagai upaya mencegah kerusakan lingkungan sumber daya alam dan konflik tenurial. Toh, pemerintah dapat mengendalikan pemanfaatan ruang lewat perizinan. Di sinilah hukum administrasi berperan dan dapat dipergunakan untuk mengatasi konflik tenurial sejak awal.

Tags:

Berita Terkait