Konsumen sejatinya memiliki hak yang dilindungi secara nasional dan internasional. Salah satunya, pemerintah telah mengatur perlindungan konsumen dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun, jika dibanding negara lain, praktik perlindungan konsumen di Indonesia masih memprihatinkan.
Seperti di Inggris, Amerika Serikat, Eropa, Australia, dan Jepang, serta beberapa negara di Asia dimana perlindungan konsumen sudah berjalan baik. Persoalan minimnya perlindungan konsumen ini sudah “dipotret” sejak 10 tahun lalu oleh Prof Retno Murni saat pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana pada 21 September 2009 silam.
Dalam orasi ilmiah berjudul “Perlindungan Konsumen Menuju Konsumen Cerdas”, Retno mengupas pentingnya penegakkan hukum terhadap perlindungan konsumen. Dia melihat saat itu ada banyak kasus terkait pelanggaran hak-hak konsumen di Indonesia. Sayangnya, kasus pelanggaran itu belum mendapat perhatian serius, bahkan dianggap sebagai kasus biasa.
Kondisi itu yang mendorong Retno mengangkat isu perlindungan konsumen dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar 10 tahun silam itu. “Ketika masih studi doktoral di Newcastle, Inggris, saya melihat perlindungan konsumen disana sangat baik, berbeda dengan di Indonesia,” kata Retno ketika dihubungi belum lama ini.
Wanita kelahiran Yogyakarta 26 November 1945 ini melihat kasus perlindungan konsumen di Indonesia terkesan menghebohkan sesaat, tapi kemudian lenyap dan meninggalkan masalah. Ada banyak alasan kenapa konsumen perlu dilindungi. Mengutip Harvey dan Parry (1996), Retno beralasan konsumen perlu dilindungi dari praktik curang atau membahayakan karena tidak ada kesetaraan kekuatan posisi tawar dan keterbatasan pengetahuan.
Mengutip Klein (2000), Retno menyebut pada umumnya konsumen menginginkan produk dan jasa yang berkualitas, aman, baik dalam transaksi sederhana maupun kompleks. Namun, ketidakseimbangan di bidang ekonomi, pendidikan, dan posisi tawar sering terjadi di negara berkembang. Ditambah masalah kondisi produksi besar-besaran (mass production), monopoli, dan persaingan korporasi besar.
“Globalisasi semakin memudahkan keluar-masuknya barang, dan transaksinya sekarang berkembang secara daring (cyber), misalnya transaksi bisnis e-commerce,” paparnya. Baca Juga: BPHN Dorong Lahirnya RUU Perikatan