Buah Pemikiran Prof Retno Murni Soal Penguatan Perlindungan Konsumen
Perempuan dan Pendidikan Hukum

Buah Pemikiran Prof Retno Murni Soal Penguatan Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen harus didasarkan pada prinsip manfaat, keadilan, harmonis, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum. Sejak 10 tahun lalu, pemerintah disarankan membentuk Kementerian Konsumen seperti di Malaysia dan merevisi UU Perlindungan Konsumen serta aturan lain yang terkait.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Namun, Retno memandang bagaimanapun kondisinya konsumen harus tetap dilindungi dari eksploitasi keuntungan dan kepentingan pelaku bisnis baik nasional maupun multinasional sebagai korban liberalisasi dan berbagai kesepakatan organisasi perdagangan dunia, seperti WTO (World Trade Organization) dan GATT (General Agreement on Tariffs and Trade).

 

“Tanpa posisi konsumen kuat dan setara dengan pelaku usaha, maka pelaku usaha tidak akan kompetitif, yang tentunya (sebagai salah satu faktor) akan berdampak pada kuat-lemahnya fundamen perekonomian suatu negara,” dalihnya.

 

Alumnus sarjana dan magister Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada pada 1971 dan 1997 ini mengungkapkan dalam ranah hukum internasional, perlindungan konsumen masuk dalam isu HAM. Mengacu deklarasi universal HAM (Duham) dan kovenan Ekosob, setiap orang memiliki hak atas kebutuhan dasar manusia, seperti makanan yang cukup, pakaian, rumah, dan pelayanan sosial lain.

 

Karena itu, Duham dan konvensi PBB mengusulkan seluruh negara untuk merumuskan regulasi perlindungan konsumen. “Konsumen harus mendapat hak mengakses produk-produk tidak berbahaya; mendapat perlindungan terhadap lingkungan; hak sosial dan ekonomi yang layak dan berkelanjutan,” papar wanita yang dikenal sebagai Guru Besar Hukum Bisnis FH Universitas Udayana ini.

 

Dibandingkan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, Jepang, Retno menilai mayoritas konsumen di Indonesia tidak berdaya menghadapi pelaku usaha karena beberapa faktor. Misalnya, konsumen belum memahami hak-haknya; tingkat pendidikan rendah dan pengaruh budaya safe face; bertendensi menerima apa adanya; terbatasnya peraturan konsumen dan lembaga perlindungan konsumen.

 

Retno mencontohkan konsumen di Bali, sebagian besar tidak tidak mengetahui adanya UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Selain itu, faktor kultur menyebabkan konsumen enggan mengeluh atau komplain. Tidak seperti konsumen di negara maju seperti Inggris dan Amerika Serikat yang berani menuntut dan menggugat. Kalaupun mau menuntut, konsumen di Indonesia umumnya bingung kemana mengadu. Jika melalui mekanisme peradilan juga bakal memakan waktu dan biaya serta belum tentu menang.

 

“Dengan kondisi ini, pelaku usaha memanfaatkan kelemahan konsumen itu untuk mencari keuntungan semaksimal mungkin karena apapun produk dan jasa yang ditawarkan, pada akhirnya konsumen akan menerima apa adanya,” tutur Retno yang tercatat pernah sebagai narasumber dalam Konferensi Nasional Hukum Keperdataan VI dengan topik “Perkembangan Doktrin Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan Pembatalan Perjanjian (2019).”

Tags:

Berita Terkait