Putusan MK Harusnya Jadi Parameter Presiden Terbitkan Perppu Cipta Kerja
Terbaru

Putusan MK Harusnya Jadi Parameter Presiden Terbitkan Perppu Cipta Kerja

Langkah yang perlu dilakukan pemerintah untuk memperbaiki UU No.11 Tahun 2020 hanya perlu membahasnya bersama publik dengan menekankan partisipasi yang bermakna. Masih ada waktu bagi pemerintah dan DPR untuk membenahi UU No.11 Tahun 2020.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas Khairul Fahmi. Foto: ADY
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas Khairul Fahmi. Foto: ADY

Akhir tahun 2022 masyarakat sipil dikejutkan oleh beberapa kebijakan yang diterbitkan pemerintah antara lain Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pemerintah berdalih ada kegentingan yang memaksa, sehingga diputuskan untuk menerbitkan Perppu. Sejumlah parameter yang digunakan pemerintah untuk menerbitkan Perppu antara lain tantangan dan krisis ekonomi global yang dapat menyebabkan terganggunya perekonomian nasional dan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2O2O.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Khairul Fahmi, menilai Presiden RI memiliki hak prerogatif untuk menetapkan kegentingan yang memaksa. Hal itu sebagaimana mandat Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945. Tapi ada parameter yang harus dipertimbangkan Presiden RI sebelum menetapkan kegentingan yang memaksa. Putusan MK No.138/PUU-VII/2009 menyebut setidaknya ada 3 parameter yang harus diperhatikan.

Baca Juga:

Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU. Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

“Presiden RI tidak begitu saja menetapkan kegentingan yang memaksa, harus menggunakan parameter sebagaimana putusan MK No.138/PUU-VII/2009,” kata Khairul dalam diskusi bertema “Perppu Cipta Kerja: Bagaimana Pandangan Akademisi HTN-HAN?” Kamis (5/1/2022).

Khairul memberi contoh terbitnya Perppu No.1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Kala itu Perppu dibutuhkan karena pandemi berdampak pada kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, perlu kebijakan yang cepat di sektor keuangan untuk mengatasi persoalan pandemi.

Kemudian, Khairul juga membandingkan dengan Perppu No.1 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Beberapa substansi yang diatur dalam Perppu antara lain mengakomodasi perkembangan adanya daerah otonomi baru di Papua dan Ibu Kota Negara Nusantara (IKN). Jika Perppu itu tidak ada maka berpotensi tidak ada kepastian hukum terkait penyelenggaraan pemilu di daerah otonomi baru dan IKN.

Sementara dalih yang digunakan pemerintah untuk menerbitkan Perppu No.2 Tahun 2022 menurut Khairul seperti kondisi ekonomi global dan geopolitik dinilai masih bisa ditangani dengan regulasi yang sudah ada, sehingga tidak perlu Perppu. Apalagi dalam berbagai kesempatan pemerintah selalu menyebut perekonomian Indonesia dalam kondisi relatif kuat ketimbang negara lain.

Khairul berpendapat pemerintah bisa membenahi substansi UU No.11 Tahun 2020 sesuai putusan MK melalui prosedur seperti biasa. Mengingat UU No.13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sudah mengatur ketentuan tentang pembentukan peraturan melalui mekanisme omnibus law.  

“Langkah yang perlu dilakukan pemerintah untuk memperbaiki UU No.11 Tahun 2020 hanya perlu membahasnya bersama publik dengan menekankan partisipasi yang bermakna. Masih ada waktu bagi pemerintah dan DPR untuk membenahi UU No.11 Tahun 2020,” katanya.

Tags:

Berita Terkait