Komentar 'Pedas' 2 Mantan Ketua MK atas Terbitnya Perppu Cipta Kerja
Utama

Komentar 'Pedas' 2 Mantan Ketua MK atas Terbitnya Perppu Cipta Kerja

Sebaiknya semua kembali setia kepada norma tertinggi yang sudah disepakati yaitu Pancasila dan UUD Tahun 1945. Pemerintah masih memiliki waktu hingga November 2023 untuk memperbaiki UU Cipta Kerja baik dari sisi formil maupun materil pasal atau ayat yang selama ini dipermasalahkan masyarakat.

Oleh:
Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit
Prof Jimly Asshiddiqie dan Hamdan Zoelva. Foto Kolase: RES
Prof Jimly Asshiddiqie dan Hamdan Zoelva. Foto Kolase: RES

Di penghujung tahun 2022, masyarakat dikejutkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Alasan di balik penerbitan Perppu tersebut sebagai bentuk antisipasi gejolak ekonomi global dan perekonomian nasional. Padahal, sesuai Putusan MK No.91/PUU-XVII/2020 tertanggal 25 November 2021, pembentuk UU diamanatkan memperbaiki UU Cipta Kerja dalam waktu 2 tahun sejak putusan diiucapkan.   

“Kalau ada niat dan tulus untuk bangsa dan negara, tindak lanjut putusan MK soal uji formil UU Cipta Kerja tidak sulit untuk dikerjakan dalam waktu 2 tahun. Sekarang masih ada waktu sekitar 7 bulan sebelum tenggat waktu berakhir pada November 2023,” kata Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) RI Periode 2003-2008, Prof Jimly Asshiddiqie, dalam jawaban tertulisnya yang diterima Hukumonline, Rabu (4/1/2022).

Ia menilai waktu 7 bulan dapat dipergunakan untuk menyusun UU Cipta Kerja baru sekaligus memperbaiki substansi atau materi pasal ataupun ayat yang selama ini dipermasalahkan masyarakat. Dengan tentunya membuka ruang partisipasi publik yang meaningful dan substansial sebagaimana mandat dalam amar putusan MK itu.

Baca Juga:

Menurutnya, terbitnya Perppu Cipta Kerja jelas melanggar prinsip negara hukum, tapi dicari-carikan alasan pembenarannya. Sampai-sampai peranan MK dan DPR diabaikan. Alih-alih mencerminkan rule of law yang baik, hal tersebut malah menjadi contoh rule by law yang kasar dan sombong menurut Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) itu.

“Kalau sikap partai-partai di DPR dapat dibangun seperti sikap (penolakan, red) mereka terhadap kemungkinan penerapan sistem proporsional tertutup, bisa saja kasus pelanggaran hukum dan konstitusi yang sudah berkali-kali dilakukan oleh Presiden Jokowi dapat diarahkan untuk impeachment. Kalau mayoritas anggota DPR siap, sangat mudah untuk mengkonsolidasikan anggota DPD dalam forum MPR untuk menyetujui langkah impeachment itu. Atau, bisa juga usul Perppu Cipta Kerja tersebut memang sengaja untuk menjerumuskan Presiden Jokowi untuk diberhentikan di tengah jalan?"

Baginya, bila terdapat sarjana hukum yang ngotot membenarkan terbitnya Perppu Cipta Kerja ini, sama saja tidak akan sulit memberi pembenaran dalam hal penerbitan Perppu Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden. “Semua ini akan jadi puncak konsolidasi Parpol untuk mengambil jarak dan bahkan memberhentikan Jokowi dari jabatannya. Karena itu, sebaiknya semua kembali setia kepada norma tertinggi yang sudah disepakati yaitu Pancasila dan UUD Tahun 1945, jangan khianati!”

Tags:

Berita Terkait