Putusan MK Soal UU Ketenagalistrikan Dinilai Timbulkan Standar Ganda
Utama

Putusan MK Soal UU Ketenagalistrikan Dinilai Timbulkan Standar Ganda

Peran swasta rawan menimbulkan komersialisasi listrik.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: sp.pln-jatim.co.id
Foto: sp.pln-jatim.co.id
Serikat Pekerja Perusahaan Listrik Negara (SP-PLN) menilai putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No.20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan jutru menimbulkan standar ganda. Putusan tersebut akan membuat celah bagi swasta untuk menguasai pengelolaan ketenagalistrikan. Akibatnya, dalam UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang baru, pemerintah kembali melakukan privatisasi.

"Kami menyayangkan putusan MK karena membuat standar ganda dengan alasan ketenagalistrikan bisa diatur pemerintah,” ujar Ketua Pembina Serikat Pekerja PLN, Ahmad Daryoko, di tengah Musyawarah Nasional Serikat Pekerja PLN di Jakarta, Senin (18/5).

Daryoko menjelaskan, hal itu kemudian membuat pemerintah tak hanya melakukan pengaturan mengenai kelistrikan tetapi juga tetap saja melanggar dan menjual aset negara. Ia pun mengkritisi proyek pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW). Sebab, penyediaan pembangkit listrik yang menjadi tanggung jawab PLN hanya sebesar 10 ribu MW. Sedangkan, proporsi 25 ribu megawatt (MW) akan diserahkan kepada swasta.

Menurutnya, upaya privatisasi PLN bakal membuat tarif listrik menjadi empat kali lebih mahal dari saat ini. Dia berkaca pada kebijakan restrukturisasi ketenagalistrikan oleh PLN pada 1998. Saat itu, pembangkit listrik berkapasitas 4 ribu megawatt di Suralaya dijual kepada swasta senilai Rp 40 triliun. Selain itu, pembangkit listrik Muara Karang yang punya power plant hingga 750 MW itu dijual senilai Rp 10 triliun.

Daryoko mengatakan, tarif listrik negara dipastikan akan meningkat jika pembangkit akan diserahkan kepada swasta. Hal itu akan memangkas  kewenangan PLN sebatas hanya menjadi penyedia jaringan dan distribusi saja. Padahal, ia menilai berdasarkan amanah UUD 1945, penguasaan listrik termasuk harga sepenuhnya dalam pengelolaan negara, dalam hal ini melalui PLN.

“Maka itu kami minta MK segera melakukan judicial review UU itu," tegas Daryoko.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat SP PLN, Riza Fauzi, mengungkapkan keprihatinannya atas pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang mengatakan bahwa pemerintah akan mengubah PLN menjadi perusahaan jasa (service company).

Ia menilai pernyataan JK akan mengubah PLN yang selama ini merupakan perusahaan yang bergerak di bidang ketenagalistrikan dari hulu ke hilir, hanya menjadi badan usaha yang mengelola distribusi dan transmisi.

"Bila pemerintah melakukan kebijakan ini, berarti akan melawan Konstitusi UUD 1945. Ini adalah liberalisasi ketenagalistrikan," katanya.

Lebih lanjut Riza menuturkan, pembatasan peran PLN memungkinkan negara mengalami kerugian triliunan rupiah. Sebab, dengan pembatasan peran PLN tersebut, kata dia, pasokan listrik nasional bisa dikuasai perusahaan listrik swasta dan asing. Akibatnya, harga listrik akan semakin mahal.

Hal senada diungkapkan pula oleh Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Yenny Sucipto. Yenny menilai, keterlibatan swasta dalam proyek pengerjaan pembangkit listrik bisa membuat harga listrik semakin pasar. Hal ini lantaran tarif dasar listrik harus mengikuti mekanisme pasar.

“Itu memungkinkan terjadinya kenaikan tarif dasar listrik yang terus menerus,” katanya.

Kondisi tersebut, menurut Yenny juga rawan menimbulkan komersialisasi listrik. Sebab, swasta akan memanfaatkan celah di sektor kelistrikan untuk mendapatkan profit. Padahal, BUMN dan pemerintah yang seharusnya meningkatakan kemampuan dalam pengelolaan listrik.

“Jika BUMN dan pemerintah tak mampu meningkatkan kemampuannya dalam pengelolaan listrik, maka swasta bisa memanfaatkan celah di sektor kelistrikan. Hal itu membuat tarif listrik semakin besar kenaikannya. Ini berpotensi terjadi komersialisasi sehingga merugikan masyarakat," pungkas Yenny. 

Tags:

Berita Terkait