Ragam Kritik Advokat terhadap Revisi UU Persaingan Usaha
Utama

Ragam Kritik Advokat terhadap Revisi UU Persaingan Usaha

Sejumlah ketentuan dalam RUU Persaingan Usaha dianggap tidak implementatif. Ketentuan-ketentuan tersebut memberatkan pelaku usaha dan praktisi hukum persaingan usaha.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Hukumonline.com

Partner Kantor Hukum Assegaf Hamzah & Partners (AHP), Asep Ridwan. Foto: RES

 

Menurut Asep, pihaknya tidak berada pada posisi menolak revisi UU Anti Monopoli. Hanya saja, dari draft RUU Anti Monopoli terbaru masih banyak hal-hal yang dinilai kurang tepat. Ia mencontohkan, pada draft terakhir terdapat kewajiban membayar denda terlebih dahulu sebesar 10 persen apabila pelaku usaha terbukti melanggar UU Anti Monopoli dan ingin mengajukan keberatan. Konsep ini, lanjut Asep, dinilai keliru. Hal ini tidak ditemukan dalam perkara pidana maupun perdata.

 

“Mana ada dalam perkara pidana, perkara perdata seseorang harus membayar terlebih dahulu denda. Ini bukan kasus pajak dan bukan Wajib Pajak (WP), kalau di kasus pajak WP wajib bayar denda terlebih dahulu, karena pemerintah butuh. Sekarang ini apa urgensinya?” ungkapnya.

 

Selain menyoal denda, Asep juga mengkritisi posisi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam draft RUU Anti Monopoli. KPPU diberikan kewenangan sebagai pihak penuntut sekaligus pemutus, namun seharusnya putusan KPPU dipersilahkan untuk diuji secara menyeluruh. Sayangnya, draft RUU Antimonopoli tidak memberikan ruang dan kesempatan kepada pihak yang berperkara untuk menguji putusan KPPU secara menyeluruh.

 

Bahkan, waktu yang diberikan untuk mengajukan keberatan atas putusan KPPU adalah 45 hari, hanya ditambah 15 hari dari UU Anti Monopoli yang saat ini berlaku yakni 30 hari. Singkatnya waktu ini hanya membuat Pengadilan Negeri selaku pihak yang memiliki kewenangan untuk menguji putusan KPPU, hanya didasarkan pada berkas perkara dari KPPU.

 

“Bukan dari para pihak (berkas). Jadi ketika kita hendak menguji bukti baru, kita ada hal lain, ada ahli lain untuk membuktikan putusan KPPU, itu tidak ada ruang. Kenapa dengan 45 harinya itu? Padahal di beberapa negara lain, putusan KPPU-nya bisa diuji secara menyeluruh, di Jerman seperti itu, di Jepang bahkan tiga tingkatan, ketika ada putusan KPPU ada tiga tingkat peradilan lainnya yang bisa menguji dan menguji dari nol lagi. Jadi sebenarnya sekarang kalau mau lihat best practice itu yang mana,” jelas Asep.

 

Sementara itu, Ketua KPPU, Kurnia Toha menjelaskan penerapan pre-merger notification telah diberlakukan di seluruh negara. Menurutnya, penerapan pre-merger notification jauh lebih efektif dibandingkan post-merger. Menurutnya, KPPU dapat membatalkan transaksi merger dan akuisisi yang melanggar hukum persaingan usaha.

 

“Kami ingin pelaporan dilakukan duluan sebelum kegiatan merger. Karena kalau KPPU temukan merger tersebut melanggar persaingan usaha bisa kami bubarkan. Apa mau pelaku usaha take a risk itu? Kebijakan post-merger ini bukan meniru tapi dilihat dari manfaatnya,” jelasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait