Ramai-ramai Menolak Pelaksanaan Pilkada di Desember 2020
Berita

Ramai-ramai Menolak Pelaksanaan Pilkada di Desember 2020

Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi rentan terhadap pelanggaran. Pilkada tidak seharusnya dilakukan dengan kualitas yang menurun.

Moch. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

Dasar dari dorongan penundaan ini adalah situasi pandemi Covid-19 yang hingga saat ini masih juga belum mereda. Kurva kasus covid-19 harian sampai saat ini masih mengalami peningkatan. Ratusan kasus positif bertambah setiap harinya.

Hadar Nafis Gumay dari Netgrit mengingatkan, jika Pilkada tetap dilaksanakan pada Desember 2020, KPU memiliki dua opsi jadwal untuk memulai kerja tahapan pemilihan lanjutan, yakni 6 Juni atau 15 Juni 2020. Sementara sampai saat ini kurva kasus positif covid-19 masih terus meningkat. ”Juga, belum ada satupun peraturan KPU dapat digunakan sesuai dengan konteks pandemi,” ujar Hadar dalam diskusi publik yang disiarkan secara daring, Rabu (27/5).

Menurut Hadar, petisi penolakan pelaksanaan Pilkada di Desember 2020 merupakan langkah yang diambil setelah sebelumnya pihaknya telah berusaha menyalurkan pemikiran soal penundaan pilkada lewat diskusi ke Pemerintah, KPU, maupun Anggota Komisi II, tapi pemerintah tetap pada pendirian untuk melaksanakan pilkada 2020. 

“Pemikiran sudah kami salurkan lewat diskusi tapi pemerintah tetap pada pendirian untuk melaksanakan pilkada desember 2020. Karena itu kami memikirkan cara lain yaitu mengumpulkan aspirasi bahwa pilkada tidak seharusnya tetap dilakukan dengan kualitas yang menurun,” jelas Hadar. 

Seperti dikutip dalam petisinya, Koalisi menjelaskan kalau dalam Perpu No.2 Tahun 2020 yang dikeluarkan 4 Mei lalu tidak ada pasal-pasal mengenai teknis kepemiluan sesuai protokol kesehatan Covid-19 dan penyesuaian anggaran selama penyelenggaraan Pilkada. Dengan kata lain, tahapan Pilkada masih dijalankan dengan ketentuan di UU Pilkada yang ada. 

Penyelenggaraan pilkada di masa pandemi juga rentan terhadap pelanggaran. Ramai di publik soal adanya politisasi Bantuan Sosial sebagai media kampanye petahana kepala daerah. Dalam diskusi yang sama, salah satu anggota koalisi, Dahlia Umar mengungkapkan fenomena tersebut yang sudah jamak terjadi dimasyarakat. Menurut Dahlia, praktik seperti ini tentu saja merugikan calon yang lain. ”Selama penyaluran Bansos tidak jarang kepala/pejabat daerah mengatasnamakan dirinya sebagai pemberi bansos,” ujar Dahlia. 

Sementara itu, Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakuktas Hukum Universitas Andalas (PUSaKO FH Unand), Feri Amsari menyebutkan bahwa hak hidup dan hak kesehatan menjadi alasan koalisi menuntut penundaan Pilkada 2020. Feri menegaskan hak untuk hidup secara prinsip harus didahulukan dari hak politik. “Bayangkan kalau proses pilkada yang jadi kewajiban disaat kondisi pandemi. Kebijakan negara terkait pilkada tidak memberi kepastian pertanggungjawaban kepada publik,” ujar Feri.

Tags:

Berita Terkait