Ratifikasi Perjanjian Internasional Diusulkan Berdiri Sendiri
Berita

Ratifikasi Perjanjian Internasional Diusulkan Berdiri Sendiri

Tidak perlu diberi ‘baju’ undang-undang.

Oleh:
Hot/HOLE
Bacaan 2 Menit
Bagir Manan (kanan), mantan Ketua Mahkamah Agung. Foto: Sgp
Bagir Manan (kanan), mantan Ketua Mahkamah Agung. Foto: Sgp

Pengujian UU No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN pada tahun 2011 lalu, ternyata menimbulkan perdebatan tersendiri di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Terutama seputar masih terikat atau tidaknya Indonesia dengan Piagam ASEAN bila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan sejumlah LSM yang tergabung dalam Aliansi untuk Keadilan Global ini.

Hal ini karena undang-undang pengesahan perjanjian internasional adalah sesuatu yang terpisah dengan instrumen ratifikasi yang menyatakan kesediaan sebuah negara untuk terikat dengan suatu perjanjian internasional.

“Perjanjian internasional itu adalah kesepakatan para pihak, dalam hal ini negara. Jadi ada hubungan hak dan kewajiban antar negara yang membuatnya. Jika undang-undang pengesahan perjanjian internasional dibatalkan, dan dianggap menjadi tidak mengikat, bagaimana dengan negara lain yang menjadi pihak dalam perjanjian itu?” kata Bagir Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung, dalam sebuahdiskusi di kampus Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Selasa (17/7).

Untuk menghindari polemik serupa di kemudian hari, Bagir mengusulkan agar perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, tidak perlu diberikan “baju” sebagai undang-undang. “Ratifikasi, ya ratifikasi saja. Perjanjian internasional sudah mengikat ketika ada instrumen ratifikasi yang menyatakan ‘consent to be bound by a treaty’ dari sebuah negara. Jadi tidak perlu ada pengesahan dengan undang-undang,” tegasnya.

Pendapat Bagir kemudian dipertanyakan oleh Etty R Agoes, pakar hukum internasional FH Unpad. “Jika tidak diberi bentuk sebagai undang-undang, bagaimana kekuatan mengikat atau secara domestik atas perjanjian internasional itu?”

Bagir lalu menyarankan agar perjanjian internasional dimasukkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan, yang saat ini telah diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. “Perjanjian internasional diperlakukan sebagai bentuk hukum tersendiri. Dengan melakukan hal ini, perjanjian internasional yang telah diratifikasi tidak perlu lagi untuk diberi ‘baju’ undang-undang,” ujarnya.

Bagir melanjutkan, apabila perjanjian internasional diakomodasi dalam hierarki peraturan perundang-undangan, maka peraturan pelaksana yang terbit sesudahnya, dapat menggunakan perjanjian internasional yang telah diratifikasi di bagian “mengingat” dalam konsiderans sebuah peraturan perundang-undangan.

Tags: