Reformasi Birokrasi Peradilan, Tugas Penting Ketua MA yang Baru
Berita

Reformasi Birokrasi Peradilan, Tugas Penting Ketua MA yang Baru

Marwah dunia peradilan harus tetap dijaga, terutama yang berkaitan dengan isu korupsi.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

“Dia punya syarat. Tinggal keberanian dan kesungguhan. Tidak ada yang lebih tinggi dari dirinya sendiri untuk memberi warna yang lebih terang," kata Suparman dalam diskusi webinar bertema 'Menakar Problematika Lembaga Peradilan dan Strategi di Masa Mendatang' yang digelar ICW, Minggu (26/4).

Salah satu yang penting mendapat perhatian Syarifuddin adalah birokrasi lembaga peradilan. Harus dilakukan pembenahan pada pendaftaran perkara, pencatatan, dan menentukan jadwal sidang. Jadwal sidang merupakan masalah yang sudah dikeluhkan para pencari keadilan.

Suparman juga berharap Syarifuddin punya pikiran yang jernih menghadapi kritik dari luar Mahkamah Agung. Jangan sampai setiap kritik dibalas dengan pelaporan ke polisi. “Hentikanlah kriminalisasi. Kalau dikritik, jangan lapor polisi (dengan tuduhan) pencemaran nama baik,” ujarnya.

(Baca juga: Muhammad Syarifuddin Pimpin MA).

Suparman Marzuki pernah dilaporkan ke kepolisian karena menyampaikan informasi tentang dugaan jual beli jabatan di tubuh peradilan. Seseorang yang ingin menjadi hakim di kawasan Jakarta diduga harus membayar ratusan juta. Suparman tidak sendirian. Komisioner Komisi Yudisial, Farid Wajdi, juga pernah dilaporkan.

Perspektif kasus korupsi

Pada diskusi yang sama, Kurnia Ramadhana menyoroti masalah korupsi, terutama putusan-putusan perkara korupsi. Peneliti ICW ini berharap  Syarifuddin membenahi sistem administrasi lembaga peradilan. Salah satunya yaitu terkait agar putusan pengadilan dapat segera diunggah ke dalam Sistem Informasi Penelurusan Perkara (SIPP), sehingga putusan pengadilan dapat dengan mudah diketahui oleh publik. “Isu administrasi yang jadi perhatian bersama, salah satunya kendala ketika pengadilan tidak meng-upload putusan amar putusan dalam sistem informasi penelusuran perkara," kata Kurnia.

Selain itu Kurnia berharap Syarifuddin selaku orang nomor satu di Mahkamah Agung, dapat mengembalikan marwah tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dengan menghukum mereka dengan hukuman maksimal. Berdasarkan analisis ICW, ada kecenderungan putusan hakim menghukum rendah pelaku tindak pidana korupsi. Tidak hanya terjadi di Mahkamah Agung, tetapi juga peradilan di bawahnya.

Kurnia memberikan contoh terbaru, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang mengurangi hukuman mantan Ketua Umum PPP, M. Romahurmuziy, dari dua tahun menjadi satu tahun penjara dan denda 100 juta rupiah. Dibandingkan putusan ketua umum partai lainnya, vonis Romy terbilang rendah.

Tags:

Berita Terkait