Rentetan Permasalahan Internal KPK Dinilai Timbulkan Ketidakpercayaan Publik
Terbaru

Rentetan Permasalahan Internal KPK Dinilai Timbulkan Ketidakpercayaan Publik

Permasalahan didasari adanya perubahan UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

CR-27
Bacaan 5 Menit

“Sepanjang tahun 2021, kita melihat implikasi revisi UU KPK soal diletakkannya KPK di bawah eksekutif, sehingga memiliki implikasi serius pada efektivitas KPK. Independensi menjadi penting apalagi bagi pemberantasan korupsi dan harus dijauhkan dari mekanisme politik yang mungkin mengintervensi proses pemberantasan korupsi,” ungkapnya.  

Bivitri mengatakan KPK hadir sebagai institusi independen sebagai penegak hukum dalam tindak pidana korupsi. Namun sejak 2019, KPK dibunuh dengan revisi UU KPK yang berimplikasi langsung kepada internal KPK.

Fenomena korupsi yang berdimensi mengeksploitasi SDA, salah satunya fenomena di sektor lingkungan sudah saatnya dipertimbangkan secara serius, terutama bagaimana penggunaan SDA hingga eksploitasi SDA yang semakin mendapatkan tempat yang betul-betul menggiurkan.  Kebijakan yang ada akhir-akhir ini ternyata justru memberikan ruang bagi upaya eksploitasi yang tidak terlalu mempunyai perhatian terkait isu lingkungan.

Dosen Fakultas Hukum UGM, Totok Dwi Diantoro, mengatakan dalam pembangunan SDA merupakan andalan karena menjadi faktor produksi bagi negara berkembang. “Seperti negara kita yang memiliki cadangan SDA yang melimpah, baik biotik dan abiotik, penggunaan SDA membawa konsekuensi eksploitasi terhadap keberadaan SDA tersebut,” ujarnya.  

Birokrasi yang memiliki otoritas untuk bisa memberikan konsesi perizinan dalam banyak hal dinilai terjadi praktik-praktik korupsi di dalamnya. Seperti kasus Al Amin Nasution dalam pelepasan kawasan hutan Tanjung Api-Api di Sumsel pada tahun 2008 dan kasus Nur Alam dalam perizinan pertambangan tahun 2016.

Menurutnya, di sektor lingkungan dan SDA belum ada perhitungan yang cermat. Dengan demikian, hal ini merupakan suatu permasalahan ketika isu lingkungan dan SDA yang mestinya diperhatikan sebagai suatu kepentingan yang mendesak.

“Jika kita berpikir progresif, definisi terhadap kekayaan negara tidak sekadar berupa kekayaan yang sifatnya konvensional berupa barang milik negara atau daerah yg tercatat dalam APBN atau APBD, tetapi juga kekayaan yang sifatnya potensial,” katanya.  

Dalam UU Tipikor, kata Totok, yang dimaksud kerugian keuangan negara konteksnya yaitu yang bersifat nyata dan pasti, sudah dibukukan dan sudah ada surat neraca yang kemudian sudah dihitung dengan akurasi.

“Bahkan sudah ada wacana untuk mencakup bahwa yang namanya kekayaan negara itu luas definisinya. Oleh karena itu menjadi penting untuk memformulasikan tentang kerugian lingkungan sebagai satu tindakan yang oleh UU Tipikor yang dikualifikasikan sebagai tindakan korupsi. Kemudian memasukan sektor lingkungan dalam cakupan kekayaan negara, sehingga kerugian lingkungan juga sebagai bentuk kerugian negara. Apabila Tipikor dalam proses perizinan melakukan eksploitasi SDA, maka ini telah masuk ke proses penyalahan hukum dan aparat penegak hukum harus melihat ini berupa kerugian negara,” tutupnya.

Tags:

Berita Terkait