KPA Sebut Proses Revisi Perpres Reforma Agraria Absen Partisipasi Publik
Terbaru

KPA Sebut Proses Revisi Perpres Reforma Agraria Absen Partisipasi Publik

KPA dan aliansi masyarakat sipil sudah memberikan naskah revisi Perpres Reforma Agraria, tapi sampai sekarang proses revisinya tidak jelas.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika saat konferensi pers secara daring, Kamis (10/2/2022). Foto: Ady
Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika saat konferensi pers secara daring, Kamis (10/2/2022). Foto: Ady

Partisipasi publik terutama kelompok masyarakat yang terdampak dalam pembentukan kebijakan atau peraturan sangat penting. Tapi sayangnya hal tersebut kerap diabaikan pembuat kebijakan. Salah satu contohnya dalam proses revisi Perpres No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mengatakan KPA dan aliansi masyarakat sipil mendorong revisi Perpres No.86 Tahun 2018 sejak tahun 2019. Aliansi juga sudah menyodorkan naskah revisi kepada pemerintah. Presiden Joko Widodo pernah berkomitmen untuk merevisi Perpres. Tapi sampai saat ini proses revisi itu tidak jelas dan absen partisipasi publik.

Pihak KSP menyebut proses revisi baru 40 persen dan lembaga yang menjadi koordinator revisi ini adalah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. “Prosesnya tertutup, tidak jelas proses revisi sampai dimana, partisipasi publik secara substantif juga tidak ada,” kata Dewi dalam konferensi pers secara daring, Kamis (10/2/2022).

(Baca Juga: Perpres Reforma Agraria Perlu Diperkuat Menjadi UU)

Berbeda dengan saat penyusunan peraturan pelaksana UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang proses penerbitannya bisa berlangsung cepat. Mengacu fakta itu, Dewi berpendapat pemerintah tidak menganggap penting revisi Perpres No.86 Tahun 2018.

Bahkan, ada indikasi revisi itu akan memasukkan UU No.11 Tahun 2020 sebagai acuan dasar menimbang. Padahal, seharusnya yang tepat menjadi acuan pelaksanaan reforma agraria adalah UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan TAP MPR Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Menurutnya, dimasukannya UU No.11 Tahun 2020 dalam revisi Perpres No.86 Tahun 2018 berpotensi melanggar Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020. Padahal, amar ketujuh putusan MK itu sudah menyebutkan menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru berkaitan UU No.11 Tahun 2020.

Sebelumnya, Wakil Menteri ATR/BPN, Surya Tjandra, menyampaikan 3 hal yang jadi perhatian dalam revisi Perpres 86 Tahun 2018. Pertama, penyelesaian legalisasi aset tanah transmigrasi. Kedua, redistribusi tanah dari pelepasan kawasan hutan. Ketiga, penyelesaian konflik agraria.

"Penyelesaian konflik agraria ini nyambung dengan redistribusi tanah dan program-program lain. Kami dari Kementerian ATR/BPN butuh dukungan, terobosan hukum agar teman-teman ATR/BPN berani mengambil sikap, khususnya jika ada persoalan yang berhubungan dengan kawasan hutan dan tanah transmigrasi," ujar Surya sebagaimana dilansir laman ppid.atrbpn.go.id. Kamis (20/01) lalu.

Lebih lanjut, ia juga memberikan masukan dalam Perpres yang sedang direvisi ini. "Semua hak milik tanah transmigrasi yang data fisik atau yuridisnya tidak sesuai dapat dibatalkan dan dilakukan penataan kembali kepemilikan oleh Menteri yang membidangi urusan pertanahan. Kalau ada klausul seperti ini kita akan mempunyai legitimasi yang kuat," katanya.

Tags:

Berita Terkait