Revisi UU Perkawinan Disetujui, Dua Putusan MK Ini Terlewat
Utama

Revisi UU Perkawinan Disetujui, Dua Putusan MK Ini Terlewat

Hasil revisi UU Perkawinan dinilai kurang komprehensif.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

(Baca juga: Begini Status Hukum Anak Luar Kawin).

Putusan kedua adalah putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015. Dalam putusannya, MK menyatakan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut”.

Putusan ini telah memperluas waktu pembuatan perjanjian perkawinan. Selama ini, UU Perkawinan hanya mengatur perjanjian pranikah (prenuptial agreement). Dengan putusan MK, maka kedua pihak dapat membuat perjanjian baik sebelum maupun selama masih dalam ikatan perkawinan. Asalkan kedua pihak setuju, dan perjanjian itu disahkan pegawai pencatat perkawinan atau notaris.

(Baca juga: Plus Minus Putusan MK tentang Perjanjian Perkawinan).

Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, menjelaskan sudah menjadi kewajiban DPR dan Pemerintah menindaklanjuti putusan MK sebagaimana disebut dalam Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2011. DPR dan pemerintah tidak bisa hanya memilih satu putusan, lalu putusan lain diabaikan. Jika demikian halnya, proses pembahasan dapat dinilai kurang cermat.

Bayu tak mengetahui alasan DPR dan pemerintah tidak memasukkan dua putusan lain Mahkamah Konstitusi ke dalam revisi: apakah lupa atau disengaja. Padahal masalah perjanjian pranikah dan status anak luar kawin juga menyangkut hak asasi manusia, sebagaimana yang dijadikan dasar memasukkan batas usia minimal kawin ke dalam revisi. “Itu sama-sama menyangkut hak asasi manusia, sama-sama penting,” ujarnya kepada hukumonline.

Ia tidak mempersoalkan jika DPR dan Pemerintah ingin mengejar target Prolegnas, sebab target memang harus dikejar. Tetapi dalam proses pembahasan RUU, sebaiknya DPR dan Pemerintah cermat dan melakukan kajian mendalam. Jika masih memungkinkan, saran Bayu, DPR dan pemerintah sebaiknya memasukkan dua putusan MK ke dalam revisi. Tetapi kalau RUU sudah disahkan di rapat paripurna, peluangnya tidak ada lagi.

Terlewatnya dua putusan MK dalam revisi memperlihatkan ketidakcermatan dalam proses pembahasan revisi UU Perkawinan. Seyogianya, pasal-pasal lain UU Perkawinan yang sudah dibatalkan MK juga ikut dibahas dan direvisi. Ternyata, hanya pasal usia minimal perkawinan yang direvisi. “Hasilnya, hasil pembahasan menjadi tidak komprehensif,” ujar dosen yang menulis disertasi tentang perundang-undangan ini.

Tags:

Berita Terkait