RPP Pungutan OJK Tinggal Ditandatangani Presiden
Berita

RPP Pungutan OJK Tinggal Ditandatangani Presiden

Penerapan fee ini menjadi beban biaya bagi perbankan.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
RPP Pungutan OJK Tinggal Ditandatangani Presiden
Hukumonline
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pungutan (fee) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah di meja Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon tengah menunggu RPP ditandatangani oleh Presiden.

“Tunggu PP ditandatangani Presiden. Sudah di meja Pak Presiden,” katanya di kantor OJK, Kamis (2/1).

Direktur Utama PT Bank DKI Eko Budiwiyono mengatakan, penerapan pungutan tersebut menjadi tambahan beban biaya dana atau cost of fund bagi perbankan. Hal ini dikarenakan selain pungutan yang diterapkan OJK, perbankan juga masih dikenakan premi dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

“Fee ini dan juga premi LPS akan memperbesar cost of fund perbankan. Ini akan jadi tambahan biaya cukup besar dan cukup banyak. Untuk menanggulangi biaya ini, terpaksa harus dibebankan kepada nasabah,” katanya di Gedung BI di Jakarta.

Meski pungutan OJK ini memberatkan bagi perbankan, kata Eko, Bank DKI sendiri akan mentaati peraturan tersebut. Ia berharap, penerapan pungutan ini dapat diiringi dengan program-program yang bisa memperbesar industri perbankan.

“Sehingga cost yang dikeluarkan bisa kembali dalam bentuk perluasan bisnis, pengenalan produk-produk perbankan oleh nasabah menjadi lebih baik. Sehingga bank semakin dikenal,” kata Eko.

Direktur Keuangan Bank Internasional Indonesia (BII) Thila Nadason menyatakan kesiapannya terkait penerapan pungutan OJK. Meskipun, pemberlakuan pungutan tersebut dapat berdampak pada tingkat efisiensi di lembaga jasa keuangan. “Pada tahun 2013 kan tidak ada fee yang dikenakan itu, baru tahun 2014. Mau tidak mau harus diikuti,” katanya.

Senada dengan Eko, Thila menilai adanya pungutan dari OJK untuk industri perbankan dapat memicu membengkaknya pengeluaran. Atas dasar itu, industri perbankan dapat menyikapi pungutan atau fee tersebut dengan berbagai cara yang dinilai ampuh. “Hal itu sudah harus dimasukkan di dalam cost di perbankan. Apalagi, aturan fee itu sudah lama dibahas,” tambahnya.

Meskipun pungutan diterapkan, Thila percaya bahwa OJK akan tetap independen dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Bahkan, ia percaya OJK akan mampu mengawasi dan mengatur lembaga jasa keuangan di Indonesia dengan baik. Menurutnya, pungutan tersebut akan membuat industri perbankan  lebih efisien.

“Mereka (OJK, red) akan melihat secara meluas. Jadi, akan lebih mendukung untuk pertumbuhan di berbagai aspek. Kebijakan itu juga akan membuat kita lebih efisien,” tutur Thila.

Sebagaimana diketahui, RPP Pungutan OJK ini merupakan peraturan turunan dari UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dalam UU tersebut tertulis bahwa OJK berhak mengenakan iuran kepada pelaku industri jasa keuangan di Indonesia yang nantinya diperuntukkan bagi operasional OJK. Meski RPP dalam tahap finalisasi, pungutan OJK ini sempat menuai kritik dari sejumlah pelaku jasa keuangan.

Rencananya, besaran pungutan atau iuran untuk perbankan dilakukan secara bertahap. Mulai dari 0,03 persen sampai 0,05 persen dari aset. Untuk 0,03 persen akan diterapkan pada tahun pertama setelah RPP berlaku. Sedangkan 0,05 persen akan diterapkan pada tahun 2016.
Tags:

Berita Terkait