Rumusan Ne Bis in Idem dalam RKUHP
Kolom

Rumusan Ne Bis in Idem dalam RKUHP

Jika tidak memuat pengecualian, maka aturan ne bis in idem dikuatirkan dapat menghalangi penerapan mekanisme PK, setidaknya dalam praktik.

Bacaan 5 Menit

Hilangnya Kalimat Pembuka

Jika diperbandingkan, Pasal 134 RKUHP dan Pasal 76 ayat (1) KUHP memuat perbedaan yang menyolok. Kalimat pembuka dari rumusan ne bis in idem dalam KUHP dihilangkan oleh RKUHP. Bunyi kalimat pembuka itu adalah: “Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi”.

Meski terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia relatif membingungkan, namun beberapa pakar menjelaskan bahwa maksud dari kalimat pembuka tersebut adalah pengecualian terhadap Peninjauan Kembali (PK) atau herziening dalam bahasa Belanda. Ini dinyatakan secara tidak langsung antara lain oleh Ernst Utrecht dan Jan Remmelink.

Ne bis in idem memang awalnya dimuat dalam Pasal 218 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Belanda 1838 (Wetboek van Strafvordering) sebagai larangan penuntutan ulang. Namun seiring waktu, ada upaya untuk memperluas ne bis in idem dari semula “larangan penuntutan ulang”, menjadi “larangan membuka kembali suatu perkara pidana”. Upaya tersebut dilakukan dengan memindahkan ketentuan ne bis in idem dari KUHAP Belanda ke KUHP Belanda pada 1886 (Van Hattum, 2012).

Bisa dipahami karenanya mengapa PK ikut diatur dalam pasal tentang ne bis in idem. Ini sekaligus menjadi bukti tambahan bahwa kalimat yang dibicarakan di atas memang dimaksudkan sebagai pengecualian terhadap PK.

Lalu apa pentingnya kalimat pembuka Pasal 76 ayat (1) KUHP tersebut? Beberapa pakar hukum pidana menganggap kalimat tersebut tidak penting untuk dimuat. Utrecht misalnya, mengatakan bahwa pembukaan kalimat Pasal 76 ayat (1) KUHP yang mengecualikan PK dari ne bis in idem tidak diperlukan. Menurutnya PK adalah upaya hukum (rechtsmiddel), yang seperti upaya hukum lain, hanya melanjutkan tuntutan yang dijalankan sebelumnya. Diajukannya PK tidak berarti bahwa suatu perkara dituntut untuk kedua kalinya (Utrecht, 1985).

Atau Van Kempen yang mengatakan pengecualian PK dari ne bis in idem sama sekali tidak perlu, sebab PK bersifat menguntungkan terpidana. Upaya hukum yang menguntungkan tidak dapat dianggap sebagai penuntutan ulang yang melanggar ne bis in idem (Van Kempen, 1995).

Begitu halnya Remmelink yang memandang pengecualian PK dari asas ne bis in idem tidak diperlukan karena tidak berdampak pada penerapannya. PK hanyalah upaya hukum luar biasa bagi kepentingan terpidana guna mengoreksi kesalahan dalam putusan berkekuatan hukum tetap, bukan penuntutan baru terhadap perbuatan pidana yang sama, yang terhalang oleh ne bis in idem (Remmelink, 2003).

Tags:

Berita Terkait