RUU Jabatan Hakim Perlu Jadi Prioritas DPR
Berita

RUU Jabatan Hakim Perlu Jadi Prioritas DPR

Materi RUU Jabatan Hakim harus menghindari dualisme kewenangan yang potensial melanggar konstitusi.

ASH
Bacaan 2 Menit
RUU Jabatan Hakim Perlu Jadi Prioritas DPR
Hukumonline
Ketua Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim perlu menjadi prioritas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah. Sebab, selama ini belum ada aturan yang komprehensif terkait jaminan perlindungan, kesejahteraan, keamanan, dan pola jenjang karier hakim sebagai pejabat negara.

“Pembahasan RUU Jabatan Hakim lebih urgen daripada RUU Contempt of Court, karena profesi hakim sebagai pejabat negara harus dilindungi Undang-Undang dulu,” ujar Suparman di kantor KY, Rabu (2/12) kemarin.

Suparman mengatakan RUU Jabatan Hakim sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Sedangkan, RUU Contempt of Court belum masuk dalam Prolegnas DPR. “Kita mendorong agar RUU Jabatan Hakim harus lebih dulu diprioritaskan pembahasannya,” harapnya.

Suparman mengungkapkan draft awal RUU Jabatan Hakim berasal dari KY karena memang dimintai masukan. Dia tak mengetahui persis apakah Mahkamah Agung (MA) menyerahkan draft RUU Jabatan Hakim ke Badan Legislasi (Baleg) DPR. Terlepas dari itu, RUU Jabatan Hakim merupakan hak inisiatif DPR. “Mungkin materi draft dari KY dan IKAHI, nantinya DPR yang mengkompilasinya,” kata dia.

Menurut dia, yang terpenting, hakim sebagai profesi mulia harus dilindungi UU berikut jaminan hak-haknya sebagai pejabat negara. RUU Jabatan Hakim ada konsekuensi pengaturan rekrutmen, promosi-mutasi, jaminan hak kesejahteraan, perlindungan kesehatan dan keamanan bagi para hakim. “Misalnya, seorang hakim layak mendapatkan pengawalan fisik agar dapat menjamin keamanan dan kenyamanan dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum dan keadilan.”

Namun, Komisioner KY Taufiqurrohman Syahuri mengingatkan agar materi RUU Jabatan Hakim benar-benar harus menghindari dualisme kewenangan yang potensial melanggar konstitusi. Warning Taufiq itu penting mengingat substansi RUU yang sudah ada. ‎Pasal 91 huruf c RUU Jabatan Hakim telah memberi kewenangan kepada IKAHI untuk merekomendasi kepada Majelis Kode Etik Hakim terkait pelanggaran kode etik profesi dan perilaku profesi (KEPPH).

”Menyongsong RUU jabatan hakim, sebaiknya harus dihindari kewenangan penjagaan dan penegakkan etik selain KY karena berpotensi melanggar konstitusi,” kritiknya.

Taufiq berharap wewenang rekomendasi tersebut seharusnya IKAHI diposisikan seperti publik ketika mengetahui adanya pelanggaran etik oleh anggotanya dengan melaporkan ke KY atau Bawas MA. Aneh, apabila ada dua lembaga yang berwenang mengadili dan memutus perkara dugaan pelanggaran etik hakim. Menurutnya, dua pengadil etik hakim ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan UUD 1945.

Majelis kode etik itu ‘makhluk’ apalagi, apa Majelis ini bentukan IKAHI? Ini nampaknya konsep KY sebagai penegak etik dalam UUD 1945 akan dikesampingkan. Apakah RUU Jabatan Hakim itu ingin meniru MK yang membentuk Dewan Etik sendiri?”

Dia juga mengusulkan apabila Bawas MA mengetahui ada pelanggaran etik oleh hakim jangan diproses dan diputus sendiri oleh MA. Namun, hasil pemeriksaan Bawas MA dilaporkan ke KY untuk diputus penjatuhan sanksi yang kemudian diusulkan kembali oleh MA untuk dieksekusi. “Tidak seperti sekarang KY dan MA berlomba-lomba, cepet-cepetan menjatuhkan sanksi atas hakim pelanggar etik”.

Perhatikan hak masyarakat
Di sisi lain, RUU Contempt of Court atau penghinaan pada pengadilan yang salah satu isinya memuat ancaman pidana 10 tahun bagi siapapun yang mengkritik peradilan seyogyanya memperhatikan hak-hak kepentingan masyarakat. Sebab, dalam negara hukum yang demokratis memuat tuntutan hak-hak (masyarakat) dan kewajiban negara memenuhi hak-hak itu.

“Seharusnya, RUU Contempt of Court itu memperhatikan hak masyarakat yang semakin tinggi terhadap informasi media terhadap dunia peradilan,” lanjutnya.

Menurutnya, aturan ancaman pidana bagi orang yang mengkritik putusan pengadilan melalui publikasi media massa seharusnya tidak perlu ada, kecuali dalam publikasi itu mengabaikan kode etik jurnalistik. “Jadi, sejauh media memberitakan sesuai kaidah kode etik jurnalistik, tidak tepat dianggap sebagai tindak pidana menghina pengadilan,” ujar Suparman.

Meski begitu, dia memandang RUU Contempt of Court tetap diperlukan sebagai bagian menjaga kredibilitas, menjaga kehormatan martabat, citra, wibawa lembaga peradilan oleh semua pihak. “Nanti pada waktunya UU Contempt of Court diperlukan,” tegasnya.

Untuk diketahui, akhir April lalu, RUU Jabatan Hakim ini memang sudah ditetapkan dalam Prolegnas 2015-2019 dengan nomor urut 52. Pengusul RUU Jabatan Hakim ini langsung oleh Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Sareh Wiyono. Kebetulan, Sareh merupakan mantan hakim yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Bandung dan Semarang.

Namun, Baleg meminta agar pengusul dapat segera menyerahkan naskah akademik untuk ditindaklanjuti. Apabila sudah terdapat naskah akademik akan dibentuk Panitia Kerja (Panja). Nantinya, pembahasan diserahkan pada keputusan Komisi III DPR setelah ada naskah akademik. Sementara RUU Contempt of Court belum masuk dalam Prolegnas.
Tags:

Berita Terkait