Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) menjadi UU. Melalui rapat paripurna yang dipimpin Sufmi Dasco Ahmad, Selasa (1/9/2020), seluruh fraksi partai secara bulat memberikan persetujuan atas RUU MK tanpa perdebatan panjang. Namun, pengesahan RUU ini menyisakan pertanyaan soal hilangnya pasal kewenangan konstitusional komplain yang semula ada dalam draf awal.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU MK, Adies Kadir mengakui dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terdapat usulan substansi baru yakni mengenai perluasan kewenangan MK dalam hal mengadili dan memutus perkara konstitusional komplain. Pengaturan itu awalnya dituangkan dalam Pasal 10 A draf awal RUU MK. Sayangnya, setelah pembahasan dalam waktu hitungan hari, pengaturan konstitusional komplain disepakati untuk dihapus.
Pasal 10 A ayat (1) RUU MK menyebutkan, “Dalam hal Mahkamah Konstitusi melaksanakan kewenangan menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah berwenang memeriksa permohonan pengaduan konstitusional yang diajukan oleh warga negara terkait dengan keputusan atau tindakan pejabat publik dalam hal melakukan tindakan inkonstitusional dalalm melaksanakan undang-undang.”
Sedangkan Pasal 10 A ayat (2)-nya menyebutkan, “Pengaduan konstitusional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan apabila: a. mengandung benturan kepentingan dengan mahkamah dan/atau hakim konstitusi: dan/atau b. putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.”
Dia melanjutkan setelah melalui pembahasan dan perdebatan panjang antara Panja dan pemerintah disepakati menghapus aturan pasal kewenangan konstitusional komplain. Keputusan itu diambil pada rapat Panja RUU MK pada tanggal 29 Agustus 2020. “Penambahan substansi baru tersebut diputuskan untuk dihapus dari draf RUU,” ujar Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Golkar itu.
Anggota Panja RUU MK, Arteria Dahlan mengatakan setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi alasan penghapusan pasal konstitusional komplain. Pertama, konstitusional komplain merupakan pengaduan konstitusional yang diajukan warga negara tatkala ada kebijakan yang merugikannya. (Baca Juga: Revisi UU MK Dinilai Syarat Kepentingan Politik)
Bagi Arteria, Indonesia sudah memberikan banyak kanal atau saluran demokrasi jika ada warga negara yang dirugikan atas sebuah kebijakan. Seperti, adanya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Ombudsman RI. Dengan begitu, konstitusional komplain tidak diperlukan karena sudah ada saluran itu. “Tinggal digunakan saja,” ujarnya kepada Hukumonline seusai rapat dengan pemerintah.