Revisi UU MK Dinilai Syarat Kepentingan Politik
Berita

Revisi UU MK Dinilai Syarat Kepentingan Politik

Karena materi muatannya hanya berkutat pada syarat usia calon hakim konstitusi, pensiun, dan masa jabatan ketua dan wakil ketua yang dinilai tidak menjawab kebutuhan MK.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: Hol
Ilustrasi: Hol

Revisi UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) kembali menjadi sorotan publik. Selain materinya RUU MK tidak substansial untuk memperkuat MK, pembahasannya terkesan tertutup, sehingga mengabaikan ruang partisipasi masyarakat untuk memberi masukan. Pada awal pembahasan RUU MK di Komisi III DPR tertutup untuk umum pada Kamis (27/8/2020).  

Pergerakan RUU MK dapat dikatakan terbilang cepat. RUU MK resmi diusulkan oleh Ketua Badan Legislasi (Supratman Andi Agtas) secara pribadi. Kemudian, RUU MK ini dimasukkan dalam RUU Kumulatif Terbuka dengan dalih menyesuaikan putusan MK. Lalu, RUU MK diboyong dalam rapat paripurna dan disahkan menjadi usul inisiatif DPR pada 2 April lalu. Belum lama ini, RUU MK ini mulai dibahas yang ditandai dengan pengiriman 121 DIM oleh pemerintah.    

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana mengatakan RUU MK bakal  mengubah batas minimum usia hakim konstitusi dari 47 tahun menjadi 60 tahun dimana sejumlah hakim konstitusi telah berusia di atas 60 tahun. Namun, publik tidak diberi tahu alasan logis, kenapa aturan syarat usia itu harus diubah. Padahal, integritas seseorang tidak bisa diukur dengan usia seseorang.

“Semakin tua usia, bukan berarti integritasnya juga terjamin,” kata Kurnia Ramadhana dalam konferensi pers secara virtual bertajuk Tolak RUU MK! Selamatkan Mahkamah Konstitusi dan Barter Politik, Jumat (28/8/2020). (Baca Juga: Pembahasan RUU MK Tertutup Bentuk Pembungkaman Aspirasi Masyarakat)

Ia mencontohkan beberapa tahun lalu ada dua hakim konstitusi terlibat praktik korupsi. Keduanya, tidak dalam usia muda. Akil Mochtar saat divonis kasus korupsi pada 2014 lalu berusia 54 tahun dan Patrialis Akbar saat divonis pada 2017 berusia 59 tahun. Selain itu, kata dia, Arief Hidayat yang sempat dilaporkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil atas dugaan pelanggaran etik dua tahun lalu berusia 62 tahun. "Jadi perubahan syarat usia minimal hakim konstitusi tidak ada relevansinya," ujarnya.

Menurutnya, merevisi UU tanpa alasan yang jelas buruk bagi akal sehat publik. Publik dipaksa setuju, tapi tidak dibuka ruang untuk proses debat argumentasi antara pembentuk Undang-Undang dengan elemen masyarakat sipil. “Revisi UU MK menjadi alat barter politik oleh pemerintah dan DPR karena materinya menguntungkan hampir seluruh hakim konstitusi,” tudingnya.   

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryal mengatakan Revisi UU MK hanya fokus pada syarat pemilihan hakim konstitusi serta pemilihan ketua dan wakil ketua MK. Hal ini terlihat dari DIM (daftar inventaris masalah) yang diserahkan oleh pemerintah. “Fokus revisi UU MK terkait syarat pemilihan hakim serta pemilihan ketua dan wakil ketua dan tidak merevisi hal-hal yang subtansial," kata Agil.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait