RUU PDP Mulai Dibahas, Pembentukan Otoritas Independen Jadi Sorotan
Terbaru

RUU PDP Mulai Dibahas, Pembentukan Otoritas Independen Jadi Sorotan

Penting memastikan hadirnya Otoritas PDP yang independent, sehingga meletakkan Otoritas PDP di bawah kementerian, sebagaimana usulan Kominfo, bukanlah opsi terbaik.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit

Kedua, dia menjelaskan meletakkan Otoritas PDP di bawah kementerian/lembaga, menjadikannya sangat bergantung sepenuhnya kepada sistem pemerintahan aik dari segi pengambilan keputusan, wewenang, pengisian jabatan, hingga keuangan. Ketika ditempatkan di bawah Kominfo misalnya, tentu wewenangnya tidak akan bisa lebih luas dari tugas, fungsi, dan wewenang Kominfo,sebagaimana diatur oleh UU Kementerian Negara. Sementara, urusan komunikasi dan informasi bukanlah urusan pemerintahan yang bersifat mutlak, sehingga terbuka peluang pembubaran atau peleburan Kominfo di masa mendatang.

Pun, jika Otoritas PDP berdiri sebagai LPNK (Lembaga Pemerintah Non‐Kementerian), peluang pembubaran sewaktu‐waktu juga sangat terbuka. Mengingat, pada prinsipnya LPNK adalah institusi pemerintah, yang berada di bawah kendali eksekutif. Dengan begitu, Otoritas PDP dapat sewaktu‐waktu dibubarkan Presiden, jika keberadaan lembaga ini dinilai tidak lagi sejalan dengan agenda politik dan prioritas presiden yang sedang menjabat.

Pilihan ini dikhawatirkan Wahyudi menyebabkan Otoritas PDP tidak memiliki kedudukan yang pasti, terkait eksistensi dan keberlanjutannya. Misalnya saja, Presiden Joko Widodo pernah membubarkan 10 LPNK melalui  Peraturan Presiden No. 112/2020, salah satunya adalah Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), yang berada di bawah Kominfo.  

Ketiga, menempatkan Otoritas PDP sebagai badan di bawah kementerian atau LPNK, akan berisiko besar pada ketidak‐efektifan dalam pengambilan keputusan. Bila otoritas ini ditempatkan di bawah Kominfo misalnya, pihak pengambil keputusan tertinggi otoritas tersebut dipertanyakan.

“Kepala otoritas atau justru Menteri Kominfo? Selain itu, jika bentuknya LPNK, kepemimpinannya bersifat tunggal berada pada kepala lembaga, setidaknya dalam praktik 40 LPNK), sementara sebuah Otoritas PDP menghendaki model kepemimpinan lembaga yang bersifat kolegial‐kolektif. Model kepemimpinan kolegial‐kolektif menghendaki kelembagaan yang bersifat multi‐members commissioner, dengan ketua semata‐mata hanya sebagai spoke persons, bukan pengambil keputusan tertinggi,” ungkap Wahyudi.

Menurutnya, pengambilan keputusan tertinggi ada pada rapat pimpinan, bisa melalui musyawarah atau voting. Dalam proses pemilihan komisioner tersebut, setidaknya harus melibatkan dua otoritas politik, misalnya Presiden dan DPR, tidak bisa dilakukan penunjukan langsung oleh satu otoritas politik, misalnya Presiden atau bahkan Menteri. Keterlibatan dua otoritas politik tersebut bisa dalam bentuk persetujuan atau penolakan, atau bisa juga dalam bentuk pemberian pertimbangan.

Keempat, Wahyudi memaparkan soal usulan membentuk mekanisme pengawasan khusus terhadap Otoritas PDP, bila berada di bawah Kominfo, seperti halnya pengawasan terhadap Badan Intelijen Negara (BIN), juga tidak tepat. Pembentukan Sub‐Komisi Pengawas Intelijen Negara dalam UU Intelijen Negara berangkat dari argumentasi perlunya kontrol sipil demokratis (democratic civilian control) terhadap institusi intelijen.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait