RUU Pemda Perbaiki Hubungan Pusat dan Daerah
Berita

RUU Pemda Perbaiki Hubungan Pusat dan Daerah

Bila sebelumnya bupati maupun walikota dapat dengan mudah pergi meninggalkan daerah kekuasaanya selama satu pekan, kini mesti seizin Gubernur.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RFQ
Foto: RFQ
Dalam waktu dekat, DPR akan memparipurnakan RUU tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) untuk disetujui menjadi UU. Semangat Revisi Undang-Undang (RUU) No.32 Tahun 2004 tentang Pemda  yakni memperbaiki hubungan antara pemerintah pusat dengan daerah. Setidaknya, terdapat garis hirarki antara Gubernur dengan bupati dan walikota.

Hal ini dikatakan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemdagri), Prof  Djohermansyah Johan, dalam sebuah diskusi di Gedung DPD, Rabu (17/9).

Sejak UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemda diberlakukan, bupati maupun walikota bersifat mandiri, bahkan  bebas dalam menjalankan dan mengatur pemerintahan di daerah masing-masing. Dengan kata lain, kata Djohermansyah, walikota dan bupati menjadi raja kecil di daerah masing-masing. Menurutnya, bupati dan walikota dapat pergi ke luar daerah tanpa seizin Gubernur. Hal itu pula yang menjadi evaluasi dalam RUU Pemda.

Dalam RUU Pemda nantinya, bupati dan walikota berada di bawah pengawasan Gubernur. Pasalnya, Gubernur merupakan kepanjangan tangan pemerintah pusat. Meski menerapkan otonomi daerah, tetapi tetap dalam bingkai negara kesatuan. Ia berpandangan pengawasan ketat yang dilakukan Gubernur dalam rangka itu pula dapat memantau kinerja bupati dan walikota. “Sekarang dibuat hirarki dengan Gubernur,” ujarnya.

Menurutnya, pemberlakukan UU No.31 Tahun 2004 dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian. Lagi pula, banyaknya daerah yang dimekarkan. Djohermansyah mengatakan, RUU Pemda mengamantkan pemberian sanksi terhadap kepala daerah di tingkat kabupaten dan kotamadya yang melanggar peraturan.

Misalnya, jika sebelumnya bupati maupun walikota dapat dengan mudah pergi meninggalkan daerah kekuasaanya selama satu pekan, kini mesti seijin Gubernur. Jika melanggar, sanksi dapat diberikan berupa teguran ringan hingga pemberhentian sementara.

RUU Pemda juga mengatur perencanaan dan pengangkatan tenaga sumber daya manusia. Jika dalam penerapan Pilkada langsung, kepala daerah bupati dan walikota dapat mengangkat tenaga honorer. Hal itu pula berdampak pada habisnya anggaran belanja daerah untuk belanja pegawai.

Menurutnya, pegawai di Pemda moayoritas menginginkan Pilkada melalui DPRD. Pasalnya pejabat kepala deerah baru kerap mengganti pegawai lama dengan mengangkat pegawai baru. Sementara pegawai dipindahtugaskan, bahkan dinon-jobkan.

“Kalau sekarang tidak bisa. Kalau mengangkat pegawai  tanpa seijin atasan bisa terkena ancaman pidana satu tahun. Itu hubungan kebijakan antara bupati dengan pemerintah pusat,” ujarnya.

Prinsipnya, RUU Pemda berujuan menata Pemda berdasarkan otonomi daerah. Pasalnya, kata Djohermansyah, sejak pemberlakuan UU No.32 Tahun 2004 banyak terjadi kebablasan. Menurutnya, negara memberikan kewenangan kepada Pemda dalam mengurus dan mengelola daerah, sepanjang tidak melanggar hukum dan tidak mengabaikan pemerintah pusat. Selain itu, Pemda melibatkan publik dalam pengambilan kebijakan. Misalnya penyusunan Peraturan Daerah (Perda).

"Jadi kepala daerah wajib menjamin dan mengurus masyarakatnya, tidak saja ribut di politiknya tetapi tata kelolanya diperbaiki, kemudian pengawasan dan pemberian sanksi-sanksi,” ujarnya.

Anggota DPD asal Nusa Tenggara Barat (NTB), Prof Farouk Muhammad Syechbubakar, mengamini pandangan Djohermasnyah. Farouk menambahkan, dengan RUU Pemda setidaknya ada penataan pengelolaan Pemda. Ia sepakat Pemda perlu ditertibkan. Pasalnya dengan begitu, bakal adanya pertanggungjawaban yang jelas dari kepala daerah di tingkat kabupaten dan kotamadya.

“Kepala daerah harus memberikan laporan pertanggungjawaban setiap tahun kepada DPRD, kemudian diumumkan ke masyarakat. Otonomi kebijakan harus jelas,” ujar mantan Kapolda NTB itu.

Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Siti Zuhro, mengatakan praktik pemerintahan daerah dalam konsep otonomi daerah perlu dievaluasi. Melalui RUU semestinya didahulukan ketimbang UU Desa yang lebih dulu disahkan. “Makanya RUU Pilkada susah sekali, dan DPR dengan fraksi-fraksinya makin tidak jelas. Kalau kita mau sepakat kepada Indonesia, bukan urusan merah putih,” ujarnya.

Menurutnya, RUU Pilkada, Pemda dan Desa menjadi satu paket kesatuan. Dalam kaitan RUU Pemda, praktik Otda perlu ditinjau ulang. Ia berpandangan penataan Pemda dilakukan dalam membangun integrasi komunikasi antara pusat dan daerah.

“Bukan karena dia merah putih, itu salah. Bagaimana mau efisien kalau digelayuti fenomena seperti itu,” kritiknya.

Selain itu, saran Zuhro, menciptakan hubungan yang harmonis antara kepala pemerintahan daerah dengan DPRD. Pasalnya dengan begitu kepala daerah dapat bekerja dengan fokus mengelola Pemda yang baik.

“Tidak ada lagi ungkapan melecehkan antara kepala deerah dengan DPRD. Tetapi justru perang kinerja yang bagis. Eksekutif dan DPRD harus saling memperkuat, bukan menjatuhkan. Kalau saling cela dan lempar genderang perang, lah terus kapan kerjanya,” pungkasnya.
Tags: