RUU Pertanahan dan RUU Tapera 'Gagal' Jadi UU
Berita

RUU Pertanahan dan RUU Tapera 'Gagal' Jadi UU

Penarikan RUU dinilai tidak sesuai dengan Pasal 10 peraturan DPR tentang Tata Cara Penarikan RUU.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES

DPR berang dengan sikap pemerintah yang menarik dua Rancangan Undang-Undang (RUU) secara sepihak di penghujung masa bakti anggota dewan 2009-2014. Keduanya adalah RUU Pertanahan dan RUU Tabungan Perumahan Rakyat.

“Tidak selesai bukan karena DPR, tetapi karena pemerintah yang menarik. Kita bukan mencari kambing hitam, tetapi perlu diketahui publik bahwa ini karena pemerintah yang menarik,” ujar pimpinan rapat paripurna Sohibul Iman, di Gedung DPR, Senin (29/9) malam.

Wakil Ketua Komisi II Abdul Hakam Nadja dalam laporan akhir mengatakan, RUU Pertanahan masuk dalam Prolegnas sejak 2012. Malahan, sempat mengalami masa perpanjangan pada masa persidangan III tahun sidang 2013-2014. Proses penyusunan draf dan naskah akademik telah dilakukan sesuai mekanisme dan prosedur yang berlaku. Mulai menyerap aspirasi dari berbagai stakeholder hingga melakukan kunjungan ke berbagai daerah.

Setelah dilakukan berbagai penyempurnaan, draf dan naskah akademik dilaporkan di dalam rapat pleno Komisi II. Setelah itu dilakukan harmonisasi, sinkronisasi dan pembulatan konsepsi. Dikatakan Hakam, serangkaian pengajuan usul inisiatif RUU tentang Pertanahan ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan menerbitkan Surat Presiden Nomor R-19/Pres/05/2013 perihal RUU tentang Pertanahan. Bamus DPR pun menindaklanuti dengan menugaskan Komisi II untuk melakukan pembahasan dengan pemerintah.

Materi pembahasan  RUU Pertanahan memuat hubungan negara, masyarakat hukum adat, dan orang dengan tanah. Kemudian hak atas tanah, reforma agraria, hak ulayat masyarakat hukum adat, pengadilan pertanahan, pembatasan minimum dan maksimum pemanfaatan lahan, pendaftaran tanah,  dan tanah untuk kepentingan sosial serta keagamaan.

Dalam pembahasan di tingkat Panja, pemerintah mengusulkan sebanyak 776 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Komisi yang membidangi pertanahan itu, kata Hakam, prinsipnya berkeinginan melanjutkan pembahasan RUU tentang Pertanahan. Dalam pembahasan di tingkat Panja terakhir, setidaknya sudah menyelesaikan 245 DIM.

Namun masih banyak DIM bersifat substansi yang belum dibahas dan belum mendapat persetujuan lantaran memerlukan waktu yang panjang, pemikiran mendalam, kecermatan, dan penuh kehati-hatian.

“Maka dalam rapat Panja RUU Pertanahan pada tanggal 27 September 2014, pemerintah menyatakan tidak sanggup dan mengusulkan untuk tidak dilanjutkan pembahasan RUU tentang Pertanahan pada tahap pembicaraan tingkat II,” ujarnya.

DPR pun akan menindaklanjuti dengan merujuk pada Pasal 10 Peraturan DPR No.3 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penarikan Rancangan Undang-Undang. Menurutnya, sembilan fraksi dan pemerintah menyepakati penarikan RUU tersebut.

“Pemerintah dan Komisi II telah menyepakati untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU tentang Pertanahan agar menghasilan sebuah regulasi bidang pertanahan yang komprehensif dan mendorong agar RUU tentang Pertanahan dapat masuk dalam Prlegnas tahun 2015-2019 dan menjadi RUU prioritas tahun 2015,” ujar politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Sementara itu, Ketua Pansus RUU Tapera, Yoseph Umar Hadi, menyesalkan penarikan RUU Tapera secara sepihak oleh pemerintah. Padahal, dengan RUU Tapera setidaknya masyarakat kelas menengah ke bawah  dapat memiliki harapan memiliki rumah melalui tabungan.

“Diharapkan masyarakat dapat menabung dengan prinsip kegotongroyongan,” ujarnya.

Yoseph berpendapat, pembahasan RUU Tapera telah memakan waktu dua tahun. Dia mengakui ada dinamika, di mana terjadi tarik ulur di internal pemerintah terkait pembahasan RUU ini. Pansus, kata Yoseph, dapat memahami hal tersebut. Namun, ia menyayangkan di penghujung masa purna bakti DPR,  pemerintah justru menghentikan pembahasan sepihak.

“Penghentian ini tidak sesuai UU dan penarikan (RUU) nya batal demi hukum karena tidak sesuai dengan Pasal 10 peraturan DPR No.3 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penarikan Rancangan Undang-Undang,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu menilai, hal ini akan menjadi catatan buruk dalam proses legislasi. Lantaran tidak mendapat persetujuan antara DPR dan pemerintah maka RUU Tapera tidak bisa disetujui menjadi UU pada periode DPR kali ini.

“Kami menyatakan kekecewaan mendalam terkait penarikan saat Panja menyelesaikan draf Tapera. Sekaligus permohonan maaf kami belum berhasil mengesahkan RUU Tapera,” ujarnya.

Anggota Panja RUU Tapera Abdul Kadir Karding menambahkan, dalam pejalanan pembahasan RUU Tapera, ada ketidaksepahaman di pihak Kemenkeu dengan Kemenpera. “Dan proses inilah kami kecewa. Selama ini tuduhan UU tidak jadi dinilai karena DPR, justru hal ini karena pemerintah menarik dan menghentikan pembahasan,” ujarnya.

Anggota Panja lainnya, Sohibul Iman, mengatakan, DPR akan menidaklanjuti penarikan RUU ini sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Ia berharap pemerintah dalam menghentikan pembahasan RUU mestinya diputuskan di tingkat I dan diboyong ke paripurna.

“Dan dengan demikian RUU ini tidak dilanjutkan akan diproses lebih lanjut sesuai ketentuan yang berlaku,” pungkas politisi PKS itu.

Tags:

Berita Terkait