Saksi Ungkap Penyebab Kasus Semanggi I Mandeg
Berita

Saksi Ungkap Penyebab Kasus Semanggi I Mandeg

Majelis anggap permintaan saksi tidak mempunyai hubungan signifikan terhadap pasal yang diuji.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Saksi yang dihadirkan Pemohon, Asih Widodo memberikan keterangan dalam persidangan perkara pengujian UU Pengadilan HAM, Selasa (25/8). Foto: Humas MK
Saksi yang dihadirkan Pemohon, Asih Widodo memberikan keterangan dalam persidangan perkara pengujian UU Pengadilan HAM, Selasa (25/8). Foto: Humas MK
Sidang lanjutan Pasal 20 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000tentang Pengadilan HAM terkait permintaan penafsiran frasa “kurang lengkap” dalam proses penyelidikan pelanggaran HAM. Kali ini sidang mengagendakan pandangan DPR dan mendengarkan kesaksian Asih Widodo, orang tua Sigit Prasetyo (mahasiswa YAI), salah satu korban kerusuhan Semanggi I 1998. Namun, DPR tidak hadir dalam persidangan ini.

Dalam sidang yang diketuai Arief Hidayat, Asih mengungkapkan kronologis peristiwa Semanggi I pada 13 November 1998 yang menewaskan anak semata wayangnya itu. “Anak saya ditembak tentara dalam peristiwa Semanggi I. Hingga detik ini saya menderita batin karena penuntasan kasus ini tidak pernah selesai,” keluh Asih dalam persidangan di MK, Selasa (25/8).

Dia menuturkan selama 16 tahun penuntasan kasus pelanggaran HAM ini tidak pernah membuahkan hasil. Padahal, Asih Widodo sudah sering mendatangi sejumlah negara yang berwenang, seperti Komnas HAM, Kejaksaan Agung, Departemen Pertahanan dan Keamanan (kini Kementerian Pertahanan), dan DPR.

“Saya sudah bolak balik ke Komnas HAM, Hamkam, dan DPR hampir setiap minggu, tetapi beliau tidak peduli dan hasilnya nihil. Istri saya kalau makan pasti ingat anak saya, menderita karena mikirin anak saya semata wayang. Kalau saya mati ridho kalau yang bunuh anak saya bisa diadili,” harapnya.

Diungkapkan Asih, sejak April 2002 berkas penanganan Semanggi I oleh Komnas HAM sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Agung. Berkas penanganan kasus ini mengalami bolak-balik sebanyak enam kali dan hingga kini belum jelas penyelesaiannya. “Setiap 13 November selalu ke Kejagung, tetapi jawabnya diombang-ambing. Alasannya berkas dari Komnas HAM belum komplit, maka dikembalikan lagi ke Komnas HAM,” tuturnya.

Dia berharap kuasa negeri ini dapat membantu dan memberi jalan keluar dengan mengadili pelaku penembakan anaknya. “Katanya Indonesia negara hukum. Saya mohon keadilan yang mulia. Tolong UU ini dibetulkan agar presiden bisa memerintahkan Jaksa Agung untuk menangkap dan mengadili orang yang nembak anak saya,” harapnya.

Arief Hidayat mengingatkan permintaan saksi tidak mempunyai hubungan signifikan terhadap pasal yang diuji. Ia menilai saksi hanya memberi gambaran peristiwa yang terjadi.  “Jangan memberi gambaran bahwa Mahkamah bisa menyelesaikan masalah dengan memerintahkan presiden menangkap pelaku. Yang terpenting keterangan saksi menyatakan ada yang salah dengan pasal ini yang tidak sesuai UUD 1945,” kata Arief.

Salah kuasa hukum pemohon, Chrisbiantoro berharap dengan pengujian UU Pengadilan HAM ini, ada keputusan MK memerintahkan pemerintah melanjutkan proses penyelidikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu khususnya dalam peristiwa kerusuhan 1998.

“Frasa berkas ‘kurang lengkap’ dalam Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM tidak memenuhi asas kepastian hukum. Makanya, kita berharap MK bisa memutuskan agar bisa memerintahkan untuk melanjutkan proses penyelidikan kasus kerusuhan 1998 ini,” harapnya usai persidangan.

Lewat kuasa hukum dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS),  perwakilan keluarga korban pelanggaran HAM Tragedi 1998 yakni Paian Siahaan dan Ruyati Darwin mempersoalkan Pasal 20 ayat (3) UU Pengadilan HAM. Soalnya, proses penyelidikan Komnas HAM selalu bermasalah lantaran berkas dinilai kurang lengkap oleh Kejaksaan Agung.

Selain itu, frasa “kurang lengkap” ini disinyalir menjadi dalih penegak hukum untuk tidak memproses penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Pengalaman bolak-balik berkas antara Kejagung dan Komnas HAM mengakibatkan kerugian bagi keluarga para korban secara konstitusional dan hak mendapatkan keadilan.

Karena itu, pemohon minta MK menafsirkan frasa “kurang lengkap” lebih jelas yang bisa menjadi pegangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung melakukan penyelidikan dan penyidikan pelanggaran HAM masa lalu. Sehingga, drama bolak-balik berkas antara kedua lembaga negara itu tidak terjadi lagi.
Tags:

Berita Terkait