Salah Kaprah Leniency Program dalam Revisi UU Persaingan Usaha
Menelaah Arah Penegakan Hukum Persaingan Usaha

Salah Kaprah Leniency Program dalam Revisi UU Persaingan Usaha

Konsep pengurangan atau pengampunan hukuman dalam RUU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ‘memperluas’ cakupan leniensi sehingga berbeda dengan yang lazim berlaku di negara-negara lain. Meskipun diklaim sama-sama menguntungkan baik pelaku usaha maupun KPPU, cakupan yang luas ini dikhawatirkan bermasalah dalam tataran implementasi.

Oleh:
Nanda Narendra Putra
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: HGW
Ilustrator: HGW
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) akan ‘mengampuni’ pelaku usaha yang terlibat dalam sindikat kartel. Sayangya, kebijakan yang dikenal dengan leniency program memiliki syarat dan kriteria tertentu sehingga tidak bisa asal diberikan kepada semua pelaku usaha.

Komisioner KPPU Sukarmi mengatakan bahwa leniency program merupakan substansi baru yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Secara sederhana, leniency program ini serupa dengan justice collaborator, yakni kesediaan pelaku tindak pidana untuk mengakui kejahatan dan membantu mengungkap tindak pidana dengan cara memberikan keterangan sebagai saksi.Bedanya, leniency program diperbolehkan untuk semua pelaku kejahatan sedangkan justice collaborator khusus pelaku yang bukan aktor utama.

“Ini insentif bagi pelaku kartel,” kata Sukarmi kepada hukumonline di Jakarta, Selasa (1/8).

KPPU mengakui praktik kartel sulit sekali diberantas lantaran kegiatannya dilakukan dengan kerahasiaan tingkat tinggi. Pertemuan pelaku kartel dilakukan di tempat serta dibicarakan sangat rahasia melalui jalur komunikasi tertentu. Sejauh ini, pelaku cenderung berusaha menyembunyikan bahkan membuang jauh-jauh segala bentuk informasi yang dapat dipakai otoritas sebagai bukti. Masalahnya, pengungkapan kartel sangat bergantung dari laporan konsumen yang tidak puas atau keterangan saksi saat proses investigasi.

KPPU tak membantah fakta tersebut lantaran selama ini upaya mengungkap kasus kartel menggantungkan pada laporan yang masuk karena kesulitan menembus jaringan kejahatan kartel. Hal tersebut semakin sulit ketika pelaku kartel memilih ‘kompak’ satu dengan lainnya dan melindungi pihak-pihak yang tergabung dalam sindikat. Akibatnya, pengungkapan kartel sebagaimana alat bukti sesuai Pasal 42 UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menjadi sulit sekali ditempuh.

Leniency program diharapkan untuk semua jenis pelanggaran persaingan. Tapi kalau lihat praktiknya, yang terjadi kebanyakan memang untuk beri insentif untuk pelaku kartel,” kata Sukarmi.

Ambil contoh misalnya, penerapan corporate leniency programs atau leniency programyang pertama kali disusun Amerika Serikat sekira tahun 1978 yang kemudian direvisi 15 tahun kemudian tahun 1993. Program ini pada prinsipnya merupakan alat yang digunakan otoritas persaingan usaha dalam mendeteksi aktivitas kartel. Dengan program tersebut pelaku kartel yang pertama kali melaporkan aktivitas kartelnya diberikan pengampunan. Informasi dan kerjasama yang diperoleh dari pelapor memancing pelaku kartel lain supaya mengakui perbuatannya dan menyerahkan diri ke otoritas.

(Baca Juga: Penegakan Hukum Persaingan Usaha dalam Angka)

“Jadi ini pengurangan, bisa jadi dia nol (dendanya). (Tetapi) Bukan berarti tidak dinyatakan bersalah, dia tetap bersalah tetapi dendanya nol. Sanksinya menyetop (menghentikan) kegiatan itu, katakanlah (misalnya) kartel harga,” kata Sukarmi.

Pengalaman membuktikan negara yang telah menerapkan leniency program menunjukkan tingkat keberhasilan yang tinggi. Contohnya, di Amerika Serikat mengalami peningkatan laporan sebanyak 20% setiap tahunnya.Di Amerika Serikat kebijakan leniencydibagi dua yakni dapat diperoleh sebelum atau sesudah investigasi atau bisa juga hanya perusahaan pertama yang dapat memperoleh leniency. Beberapa negara juga mengikuti kesuksesan Amerika Serikat seperti Inggris, Brasil, Kanada, Jerman, Swedia, Korea, Jepang, Perancis, Irlandia, Republik Cheko dan Denmark.

“Kalau diterapkan untuk semua antitrust (pelanggaran) itu menguntungkan,” kata Sukarmi.

 RUU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
Ketentuan Pasal Rujukan
Pasal 71 (Leniensi)
(1)  KPPU dapat memberikan pengampunan dan/atau pengurangan hukuman bagi Pelaku Usaha yang mengakui dan/atau melaporkan perbuatannya yang diduga melanggar ketentuan Pasal 4, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan Pasal 18.

(2)  Ketentuan mengenai pengampunan dan/atau pengurangan hukumansebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan KPPU.
Pasal 4 (Oligopoli)
(1)  Pelaku Usaha dilarang membuat Perjanjian dengan Pelaku Usaha pesaingnya untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran Barang dan/atau Jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.

(2)  Pelaku Usaha patut diduga secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan/atau pemasaran Barang dan/atau Jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), jika 2 (dua) atau 3 (tiga) Pelaku Usaha atau kelompok Pelaku Usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluhlima persen) Pangsa Pasar satu jenis Barang atau Jasa tertentu.
Pasal 5 (Penetapan Harga)
(1)  Pelaku Usaha dilarang membuat Perjanjian dengan Pelaku Usahapesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu Barang dan/atau Jasa yang harus dibayar oleh Konsumen pada Pasar Bersangkutan yang sama.

(2)  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi:
a.    suatu Perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau
b.    suatu Perjanjian yang didasarkan pada undang-undang yang berlaku.
Pasal 7
Pelaku Usaha dilarang membuat Perjanjian dengan Pelaku Usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah Harga Pasar yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha
Tidak Sehat.
Pasal 9 (Pembagian Wilayah)
Pelaku Usaha dilarang membuat Perjanjian dengan Pelaku Usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi Pasar terhadap Barang dan/atau Jasa sehingga dapat mengakibatkanterjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pasal 10 (Pemboikotan)
(1)  Pelaku Usaha dilarang membuat Perjanjian, dengan Pelaku Usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi Pelaku Usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan Pasar dalam negeri maupun Pasar luar negeri.

(2)  Pelaku Usaha dilarang membuat Perjanjian dengan Pelaku Usaha pesaingnya, untuk menolak menjual setiap Barang dan/atau Jasa dari Pelaku Usaha lain sehingga perbuatan tersebut:
a.    merugikan atau dapat diduga akan merugikan Pelaku Usaha lain;atau
b.    membatasi Pelaku Usaha lain dalam menjual atau membeli setiapBarang dan/atau Jasa dari Pasar Bersangkutan.
Pasal 11 (Kartel)
Pelaku Usaha dilarang membuat Perjanjian dengan Pelaku Usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan/atau pemasaran suatu Barang dan/atau Jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan UsahaTidak Sehat.
Pasal 12 (Trust)
Pelaku Usaha dilarang membuat Perjanjian dengan Pelaku Usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol  roduksi dan/atau pemasaran atas Barang dan/atau Jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pasal 13 (Oligopsoni)
(1)  Pelaku Usaha dilarang membuat Perjanjian dengan Pelaku Usaha pesaingnya yang bertujuan untuk secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan agar dapat mengendalikan harga atas Barang dan/atau Jasa dalam Pasar Bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.

(2)  Pelaku Usaha patut diduga secara bersama-sama menguasai pembelian atau penerimaan pasokan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika 2 (dua) atau 3 (tiga) Pelaku Usaha atau kelompok Pelaku Usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) Pangsa Pasar satu jenis Barangatau Jasa tertentu.
Pasal 15 (Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri)
Pelaku Usaha dilarang membuat Perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan/atau Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Pasal 16 (Persekongkolan)
Pelaku Usaha dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender atau lelang.
Pasal 18
Pelaku Usaha dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran Barang dan/atau Jasa Pelaku Usaha pesaingnya dengan maksud agar Barang dan/atau Jasa yang ditawarkan atau dipasok di Pasar Bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI, Ditha Wiradiputra, menilai cakupan pasal terkait leniency program sebagaimana diatur Pasal 71 RUU tentang Larangan Praktik Monopoli terlampau luas. Praktik di banyak negara, pengurangan denda atau pengampunan kejahatan diperuntukan khusus kepada pelaku usaha yang terlibat kartel ‘berat’ (hard core cartels). Kartel yang dimaksud juga sedikit memiliki perbedaan dengan pengaturan kartel menurut UU Nomor 5 Tahun 1999.

(Baca Juga: Memperkuat ‘Wasit’ Persaingan Usaha Lewat Aturan Penyalahgunaan Posisi Tawar Dominan)

“Berdasarkan pembahasan yang dilakukan pemerintah, leniency program dikhususkan untuk kartel, kebetulan kartel dalam arti luas,” katanya kepada Hukumonline di kampus UI Salemba, Selasa (1/8).

Yang dimaksud ‘Kartel dalam arti luas’, lanjut Ditha, merupakan praktik kartel yang secara substansi dikenal sebagai penetapan harga, persekongkolan tender, pembagian wilayah, dan pengaturan produksi itu sendiri sebagaimana UU Nomor 5 Tahun 1999. Nah, kartel itu sendiri menurut UU Nomor 5 Tahun 1999 sebatas menyangkut kartel dalam arti tindakan pengaturan produksi yang menyebabkan persaingan usaha tidak sehat. Sehingga, mestinya leniency program tersebut sebatas menyangkut pasal-pasal yang berkaitan dengan kartel dalam arti luas.

Di tengah pembahasan RUU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, kata Ditha, seharusnya pengaturan terkait leniency program diperjelas cakupannya. Pemerintah sendiri melalui Kementerian Perdagangan telah memberikan masukan melalui Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) di mana leniency program khusus mengenai masalah kartel dalam arti luas. Sekedar informasi, Ditha menjadi salah satu pakar yang diundang pemerintah untuk memberikan masukan terkait RUU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang digelar akhir Juni kemarin.

“Kita kan masuk oligopoli. Oligopoli adalah pasal yang tidak jelas karena tidak digambarkan praktik yang seperti apa yang dilarang oleh oligopoli. Secara ekoomi, oligopoli adalah satu kondisi ekonomi yang tidak salah. Dia menjadi salah ketika membuat perjanjian misalnya pengaturan produksi, dia kena Pasal 11, kalau dia pembagian wilayah, dia kena pasal 9, perjanjian penetapan harga, kena pasal 5. Artinya, dia bisa diatur pasal lain, bukan diatur pasal 4 itu sendiri terkait oliopoli. Jadi kalau disebutkan leniency program juga termasuk oligopoli menjadi kebiungungan karena pasalnya bermasalah,” kata Ditha menjelaskan.

(Baca Juga: Berjuang Mencari Legitimasi Indirect Evidence)

Sementara, Senior Associate dari firma hukum HADS Partnership Law Office, Lantiko Hikma Suryatama sependapat bahwa masuknya pasal terkait oligopoli sebagai bagian dari leniency program dinilai kurang pas. Menurutnya, leniency program cukup diterapkan terbatas pada praktik kartel, yakni penetapan harga dan pengaturan produksi. Selebihnya, praktik kartel dalam arti luas yang tersebar pada pasal-pasal dalam UU Nomor 5 Tahun 1999 tidak tepat bila diberikan leniency program.

“(Terkait Leniency Program) Kalau saya prefer cukup pengaturan produksi dan price fixing,” kata Lantiko kepada hukumonline, Jumat (4/8).

Lantiko cukup kecewa setelah mengetahui pengaturan terkait leniency program hanya diatur satu pasal dalam RUU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Terlebih dalam draf RUU juga tidak dijabarkan aturan main yang jelas dan rigid sehingga ia khawatir penerapan leniency program malah tidak memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha maupun KPPU sendiri sekalipun diamanatkan untuk diperjelas melalui Peraturan KPPU.

Terlepas dari hal tersebut, Lantiko mengingatkan dua aspek penting terkait pengaturan leniency program. Pertama, mekanisme pendaftaran bagi pelaku usaha yang terlibat dalam kartel harus diatur detil sehingga pelaku usaha mendapat kepastian diberikan pengurangan denda ataupun penghapusan hukuman. Mengacu ke praktik negara lain, dikenal dua sistem pendaftaran yakni berdasarkan first applicant (pendaftar pertama) dan yang kedua berdasar pada bukti yang dapat disampaikan pelaku usaha.

“Ada 2 sistem, pakai marker system dan kedua pakaiadded value system. Marker system yang penting siapa yang maju dia yang dapat pengampunan. Kalau added value, bukan soal siapa yang maju duluan, tetapi dokumen apa yang mereka bisa provide. Tergantung buktinya apa, meskipun dia maju sebagai first applicant tapi dia ngga bisa kasih dokumen susah juga,” kata Lantiko.

Yang Kedua, mesti diatur tingkatan pengurangan denda secara berjenjang. Di beberapa negara, diatur berbagai skema pengurangan denda seperti pemohon leniency yang pertama kali berhak dikurangi hukumannya hingga 100 persen atau ada yang menerapkan pengurangan denda berjenjang misalnya pemohon pertama mendapat 100 persen, pemohon kedua mendapat 75 persen hingga seterusnya. Ambil contoh misalnya seperti yang dilakukan Danish Competition Authority(DCA), otoritas persaingan usaha di Denmark melalui Guidelines Leniency Programs.

Dalam penerapanya, DCA menyediakan semacam formulir yang memuat sejumlah informasi seperti nama dan alamat pelapor, nama dan alamat para pelaku kartel, produk terkait aktivitas kartel, pasar geografis yang menjadi ruang lingkup aktivitas kartel, tujuan kartel, serta jangka waktu berlakunya kartel. Di banyak leniency program memberikan insentif berupa imunitas terhadap denda bagi pihak yang melapor pertama dan pengurangan denda bagi pihak yang bukan melapor pertama kali.

Terkait imunitas denda, rata-rata diatur kriteria seperti pelapor merupakan pihak pertama yang melaporkan dan pelapor menyediakan informasi yang belum dimiliki otoritas. Selain itu, otoritas juga mensyaratkan agar pelapor bersedia bekerjasama dengan otoritas selama proses penanganan perkara berlangsung lalu pelapor harus mengakhiri keterlibatan di dalam sindikat kartel. Sedangkan terkait pengurangan denda, otoritas menetapkan kriteria seperti informasi yang dilaporkan harus berupa informasi tambahan yang belum dimiliki otoritas.

Perbandingan yang lain, leniency program yang diterapkan negara yang tergabung dalam Uni Eropa membagi kebijakannya menjadi dua seperti di Amerika Serikat. Bagian pertama, diatur pelaku usaha mendapat insentif berupa penyampingan denda. Sementara bagian kedua, diatur pelaku usaha akan mendapat keringanan secara berjenjang berkisar 30%-50% untuk pelaku usaha pertama yang melapor, lalu 20%-30% dan kurang dari 20% untuk perusahaan yang melapor berikutnya. Untuk memperoleh penghapusan denda, perusahaan harus merupakan perusahaan pertama yang melapor, dan laporan tersebut harus dilakukan sebelum investigasi dimulai.

“Harus ada komitmen. Ketika masuk sebagai pemohon, harus komitmen, sediakan dokumen untk bekerjasa sama kalau tidak ada itu lepas. Sangat disayangkan itu tidak tertuang jelas kesini (RUU). Padahal kalau misalnya jelas, akan sangat berguna buat KPPU untuk buktikan kartel,” kata Lantiko.

Tak hanya itu, Lantiko mengusulkan agar juga diatur secara tegas bahwa leniency program dapat diberikan kepada pelaku usaha sepanjang mereka mengakui kesalahan dan bersedia ikut membantu otoritas sebelum kasus tersebut masuk ke tahap persidangan. Setidaknya ketika tahap penyeledikan pelaku yang berniat iku leniency program harus menyampaikan kepada KPPU. Bila sudah masuk tahap persidangan apakah itu pemeriksaan pendahuluan maupun pemeriksaan lanjutan, maka leniency program tidak berlaku buat pelaku usaha.

Selain itu, perlu juga diatur pihak-pihak yang berhak mengajukan misalnya apakah harus korporasi ataupun bolehkan orang per orang yang berstatus sebagai pegawai yang bekerja di perusahaan pelaku kartel. Sebab, kata Lantiko, jangan sampai program pengurangan dan pengampunan denda ini dipakai atau menjadi ‘alat’ bagi pihak-pihak yang berkepentingan buruk. Mesti dicatat, tujuan utama dari program pengurangan atau pengampunan denda di satu sisi merupakan insentif bagi pelaku usaha namun di sisi lain bagi KPPU menjadi cara mendapatkan bukti permulaan yang sah dari pelaku usaha yang bekerjasama.

“Untuk pastikan leniency program berjalan dengan baik, harus ada kepastian hukumnya. Aturannya harus rigid. Jadi, pelaku usaha yang melapor bisa tenang dan dapat kepastian hukum,” kata Lantiko.
Tags:

Berita Terkait