Sama-Sama Berjuang Lewat Medan Merdeka Barat
Merajut Bisnis dan HAM:

Sama-Sama Berjuang Lewat Medan Merdeka Barat

Potensi pelanggaran HAM warga dalam operasional korporasi bisa juga diakibatkan kelemahan rumusan perundang-undangan. Solusinya: pengujian ke Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES
Nama Japin, Vitalis Andi, Sakri, dan Ngatimin alias Keling mungkin akan terpatri kuat dalam sejarah legislasi Undang-Undang Perkebunan di Indonesia. Keempat petani asal Ketapang, Kalimantan Barat, inilah yang pernah menguji konstitusionalitas sebagian materi UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Penyebabnya, rumusan dalam Pasal 21 juncto Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang ini sangat umum sehingga potensial mengkriminalisasi siapa saja yang ‘mengganggu usaha perkebunan’.

Keempat petani dilaporkan perusahaan yang membuka usaha perkebunan di daerah tempat tinggal Japin dkk. Secara legal formal, perusahaan sudah mengantongi izin meskipun versi petani tanah mereka justru dicaplok perusahaan. Japin dkk dituduh melakukan tindak pidana turut serta dengan sengaja melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.

(Baca juga: Penerapan Good Corporate Governance Sebagai Budaya Perusahaan).

Pengalaman pahit yang menimpa Japin dan kawan-kawan sangat umum terjadi. Lebih dari seratus orang yang berkonflik dengan perusahaan berujung pada proses pidana. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mendampingi beberapa orang di antara warga yang hak-hak asasinya terlanggar, termasuk Japin. “Hak-hak mereka diperjuangkan lewat Mahkamah Konstitusi,” kata Andi Muttaqien, pengacara publik dari Elsam.

Andi ikut mendampingi keempat petani mengajukan permohonan uji materi UU No. 18 Tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi. Aduhai, permohonan mereka berhasil. Pasal pidana yang mengantarkan Japin dkk ke proses hukum akhirnya dibatalkan Mahkamah Konstitusi. Pertimbangannya menarik, rumusan Pasal 21 juncto Pasal 547 ayat (1) UU Perkebunan terlalu umum dan bisa menjerat siapa saja.

Kisah Japin dkk hanya salah satu kasus perseteruan warga dengan perusahaan yang bermuara pada pelanggaran HAM. Dalam kasus ini, potensi pelanggaran HAM turut dipicu ketidakjelasan rumusan perundang-undangan. Ketidakjelasan itulah yang dimanfaatkan salah satu pihak mengambil keuntungan. Undang-Undang Perkebunan akhirnya berganti rupa, kini menjadi UU No. 39 Tahun 2014.

(Baca juga: Aparat Harus Patuhi Putusan UU Perkebunan).

Sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan memiliki modalitas perundang-undangan bidang HAM, seharusnya Indonesia bisa menekan potensi pelanggaran hak asasi dalam praktis bisnis. Apalagi dalam enam tahun terakhir dunia internasional sedang gencar membicarakan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs BHR). Isunya bukan saja mendorong perusahaan mengembangkan kebijakan antisuap dan peduli lingkungan, tetapi juga menghormati hak asasi internal dan eksternal. Internal lebih fokus pada pemenuhan hak-hak asasi pada hubungan industrial; sedangkan eksternal pada komunitas di sekitar lokasi usaha perusahaan. Di level nasional juga sedang disusun Panduan Bisnis dan HAM beserta indikator penilaiannya.

Pihak yang dirugikan oleh ketidakjelasan rumusan perundang-undangan bukan hanya petani atau warga sekitar perusahaan. Hak asasi pengusaha juga bisa terdampak. Penelusuran hukumonline terhadap sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan pengujian undang-undang sektor usaha menunjukkan masyarakat dan pelaku usaha sama-sama pernah melakukan upaya judicial review terkait hak asasinya. Antara lain pengujian UU Kehutanan, UU Migas, UU Minerba, dan UU Sumber Daya Air.

Dalam putusan MK No. 34/PUU-IX/2011, pengusaha yang menjadi pemilik sah atas areal Perkebunan Kelapa Sawit yang terletak di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi memohon pengujian norma dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Undang-Undang ini mengizinkan Pemerintah untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, dengan tidak memperhatikan hak atas tanah yang telah diberikan oleh negara sebelumnya di wilayah tersebut, sebagaimana terjadi pada tanah milik Pemohon. Akibatnya, hak atas tanah milik pemohon nyaris hilang karena dialihkan oleh Menteri Kehutanan menjadi Hutan Tanaman Industri. Padahal ada puluhan ribu hektare areal Perkebunan Kelapa Sawit Pemohon yang sudah mengantongi izin dari Pemerintah sebelum UU Kehutanan disahkan.

Dalam putusan ini MK mengabulkan sebagian permohonan dengan tidak membatalkan kewenangan Pemerintah tersebut, hanya saja menafsirkan ulang bahwa pelaksanaan kewenangan penguasaan hutan itu wajib pula melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat yang telah diberikan sebelumnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan selama tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Ada pula Direktur Utama dari perusahaan yang merasa dirugikan dengan pengaturan soal penerimaan negara bukan pajak di sektor minyak dan gas Bumi. Dengan menguji norma dalam UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). Pemohon merasa ada ketidakpastian hukum karena UU Migas dan UU PNBP memberikan peluang Pemerintah mengatur tarif iuran bagi usahanya di sektor Migas dengan Peraturan Pemerintah (PP), padahal telah ditetapkan Pasal 23A UUD 1945 haruslah dengan menggunakan Undang-Undang. Sang Direktur merasa telah dirugikan membayar sejumlah iuran yang menurutnya tidak konstitusional legalitasnya. Permohonan ini kandas karena putusan MK No. 4/PUU-XIII/2015 menolak dengan alasan telah sesuai dengan prinsip pendelegasian wewenang dari UU ke PP.

UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), setidaknya telah delapan kali diuji di MK baik oleh korporasi, pejabat daerah, LBH, LSM, maupun perseorangan. Pada putusan MK No. 32/PUU-VIII/2010, para pemohon yang terdiri dari petani, LSM, dan nelayan memperjuangkan haknya atas perlindungan dari kerusakan lingkungan akibat penetapan wilayah pertambangan oleh Pemerintah.

Mendalilkan haknya pada pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”,  pemohon merasa bahwa masyarakat setempat harus dilibatkan lebih jauh soal persetujuan wilayah pertambangan dan bukan hanya pertimbangan melalui DPR RI. MK mengabulkan sebagian  dengan mempertegas bahwa kewenangan Pemerintah dalam UU Minerba harus dimaknai wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak.

Ada juga pelaku usaha perseorangan yang mewakili usaha menengah kecil yang menguji norma UU Minerba karena menetapkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) hanya bisa diberikan dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare. Hal ini jelas akan bisa diajukan hanya oleh pemodal besar padahal. MK mengabulkan seluruh permohonan sehingga WIUP tetap bisa diajukan pelaku usaha di bidang pertambangan kecil/menengah.

(Baca juga: MK: Negara Langgar Prinsip Pengelolaan SDA).

Tercatat pula pada tahun 2014, asosiasi korporasi menguji Pasal 102 dan Pasal 103 UU Minerba yang melarang ekspor bijih besi dalam praktek pelaksanaan oleh Pemerintah. Asosiasi pengusaha merasa keberatan karena menghalangi hak mendapatkan pekerjaan serta penghidupan yang layak berdasarkan UUD 1945. Dalam putusan No. 10/PUU-XII/2014 seluruh permohonan ditolak MK karena tafsiran MK mengenai Pasal 33 UUD 1945 secara tegas melindungi hajat hidup masyarakat lewat penguasaan negara.

Namun dalam konflik sumber daya air, putusan MK atas gabungan perkara No. 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan No. 008/PUU-III/2005, MK menolak sejumlah dalil pemohon dari kalangan perseorangan dan LSM bahwa telah terjadi privatisasi sumber daya air yang melanggar pasal-pasal hak asasi dalam konstitusi. Dunia usaha mendapatkan keleluasaan untuk terlibat dalam bisnis pengelolaan sumber daya air.

(Baca juga: MK Batalkan UU Sumber Daya Air).

Perlu Rencana Aksi Nasional
United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights sebenarnya telah memberikan arahan untuk melindungi, menghormati, hingga memulihkan kembali jika terjadi pelanggaran HAM dalam praktek bisnis. Akan tetapi pedoman ini bukanlah instrumen hukum yang diakui sebagai bagian dari hukum nasional. Sejauh ini, semua aspek HAM dalam praktek bisnis yang diatur undang-undang diperjuangkan secara konstitusional dengan bergantung pada penafsiran MK.

Staf ahli Deputi V Kantor Staf Presiden, Ifdhal Kasim, yang membidangi Kajian dan Pengelolaan Isu-Isu Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan, dan HAM Strategis mengatakan UNGPs BHR sebenarnya adalah jenis soft law  yang dalam rezim hukum internasional telah diakui mengikat secara politis dan moral meskipun belum secara yuridis formil. “Bagi semua anggota PBB itu mengikat secara moral dan politik sebagai konsekuensi keanggotaan, apalagi Indonesia ikut terlibat penyusunannya,” kata Ifdhal kepada hukumonline.

Menurut Ifdhal, panduan ini sebenarnya akan sangat menguntungkan bagi para pelaku usaha yang menjalankan bisnis internasional. Di beberapa negara, pedoman ini telah diwujudkan menjadi Rencana Aksi Nasional, yang dituangkan dalam instrumen hukum bisnis agar dipatuhi. ”Mereka wajib patuh karena ada konsekuensi di negara asalnya jika berbisnis tanpa memperhatikan pedoman itu,” lanjutnya.

Dengan begitu, investor asing akan lebih nyaman berbisnis dengan pihak dalam negeri jika sudah sama-sama mematuhi pedoman PBB tersebut. Pasalnya, mereka bisa dikenai sanksi di negara asalnya jika berbisnis tanpa mengikuti panduan HAM.

Adapun di Indonesia, Ditjen HAM Kementerian Hukum dan HAM sudah membuat nota kesepahaman dengan organisasi masyarakat sipil untuk menyusun naskah akademik dan indikator bisnis dan HAM. Sementara Komnas HAM dan Elsam sudah meluncurkan Panduan Bisnis dan HAM pada Juni lalu.

Menurut Ifdhal, Pemerintah sudah saatnya membentuk rencana kerja nasional yang dikoordinasi antarkementerian untuk menjadikan UNGPs BHR sebagai kebijakan bersama dalam mengawasi dunia bisnis yang dijalankan langsung oleh BUMN dan swasta. Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Kementerian Perindustrian adalah dua contoh instansi pemerintah yang sudah merespons masalah HAM dalam kebijakan urusan bisnis yang menjadi wewenangnya.
Tags:

Berita Terkait