Sanksi Bagi Korporasi yang Abaikan Kewenangan OJK di Perppu Sistem Stabilitas Keuangan
Berita

Sanksi Bagi Korporasi yang Abaikan Kewenangan OJK di Perppu Sistem Stabilitas Keuangan

Terdapat tiga kewenangan OJK dalam Perppu 1/2020.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Kewenangan OJK tersebut tercantum dalam Pasal 23 Perppu 1/2020, turut mengatur mengenai kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di dalamnya.

 

Setidaknya terdapat tiga kewenangan OJK dalam Perppu tersebut. Salah satu amanat dari Perppu tersebut seperti yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) yaitu memberi kewenangan dan pelaksanaan kebijakan OJK untuk memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi dan/atau konversi. Langkah tersebut dapat dilakukan apabila diperlukan untuk mengantisipasi krisis jasa keuangan yang dapat membahayakan perekonomian nasional.

 

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan saat kondisi penuh risiko saat ini akibat Covid-19 maka daya tahan lembaga jasa keuangan sangat dibutuhkan khususnya dari sisi permodalan. Sehingga, salah satu cara untuk memperkuat daya tahan lembaga jasa keuangan tersebut dilakukan dengan cara penggabungan atau merger.

 

“Perppu ini dibuat sebagai antisipasi Covid 19, sehingga dikaitkan dengan merger ini supaya OJK bisa preemtive dengan memergerkan lembaga keuangan termasuk bank. Tentunya kami berharap kondisi ini tidak sampai terus negatif dan jangan sampai ada resesi. Kami akan melihat lembaga keuangan mana yang akan berdampak,” jelas Wimboh dalam konferensi pers online, Minggu (5/4).

 

Wimboh menjelaskan aksi merger tersebut diperlukan karena terdapat risiko besar akibat Covid-19 yang mengganggu kemampuan pembayaran perusahaan jasa keuangan khususnya perbankan, meskipun saat ini perbankan tetap masih membayarkan bunga deposito kepada nasabah tepat waktu. Di sisi lain, kemampuan membayar debitur atau peminjam dalam kondisi tidak stabil karena perlambatan ekonomi di berbagai sektor. Sehingga, aksi merger tersebut diharapkan dapat memperkuat daya tahan perusahaan jasa keuangan.

 

Terdapat sanksi tegas menyatakan dalam Perppu tersebut bagi pihak termasuk korporasi yang secara sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat pelaksanaan kewenangan OJK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a berupa pidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10 miliar atau pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp300 miliar. Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 1 triliun.

 

KETENTUAN SANKSI

Pasal 26

  1. Setiap orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, tidak melaksanakan atau menghambat pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) atau pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah).
  2. Apabila pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000.000 (satu triliun rupiah).
Tags:

Berita Terkait