Sebuah Referensi Baru: Upaya Mengajarkan Keterampilan Hukum
Oleh: Imam Nasima
Berita

Sebuah Referensi Baru: Upaya Mengajarkan Keterampilan Hukum
Oleh: Imam Nasima

Saya memperoleh buku mengenai keterampilan hukum ini dari seorang teman yang kebetulan terlibat langsung dengan proses penyusunannya.

IMAM NASIMA
Bacaan 2 Menit
Buku Keterampilan Hukum. Foto: IMAM NASIMA
Buku Keterampilan Hukum. Foto: IMAM NASIMA
Bukan sebagai salah satu penulisnya, namun sebagai manajer yang lebih bertanggungjawab terhadap berjalannya proses tersebut. Menurutnya, penulisan buku ini merupakan sebuah inisiatif bagus dari, oleh, dan untuk akademisi hukum Indonesia, dengan didukung peran akademisi hukum Belanda.

Dalam kata pengantarnya, Prof. Denny Indrayana menyebutkan bahwa penulisan buku tersebut ditujukan untuk menjawab ‘tantangan kekinian’, yaitu [kurangnya] ‘materi keterampilan hukum yang relatif jarang ditulis oleh akademisi, karena umumnya akademisi lebih sering menulis buku-buku teori hukum’. Penulisan buku tersebut juga melibatkan seorang guru besar dari Universitas Maastricht, Prof. Fokke Fernhout – yang saya pikir cukup menjanjikan untuk menjawab tantangan yang dihadapi dunia hukum di Indonesia tadi.

Sebagai sebuah inisiatif cukup menjanjikan, saya pikir, karena perdebatan sengit mengenai metode penelitian hukum yang telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini memang cenderung sangat teoretis, dengan menciptakan dikotomi antara kubu ‘hukum murni’ dan ‘sosio-legal’ – yang sebenarnya tidak tepat untuk diperselisihkan (perkembangan terakhir dapat dibaca misalnya dalam Putro & Wiratraman: 2015).Selain itu, sebagian pihak juga menyarankan adanya pendidikan hukum yang lebih bersifat praktis (lihat misalnya Rosenbaum: 2014).

Judul Keterampilan Hukum: Panduan Untuk Mahasiswa, Akademisi dan Praktisi
Penulis Sigit Riyanto, dkk.
Penerbit Gadjah Mada University Press
Cet-1 Juni 2013
Halaman 312+ xi

Pendeknya, adanya perspektif analisis dari disiplin lain, bukan berarti menggantikan metode penelitian hukum yang bersifat normatif (doktriner), namun dimaksudkan sebagai pelengkap dari metode doktriner yang semestinya berhubungan dengan praktek yang terjadi. Pertanyaannya, bagaimana persisnya metode penelitian hukum itu sendiri, atau, keterampilan seperti apa yang kemudian setidak-tidaknya harus dapat dikuasai oleh seorang sarjana hukum?

Buku mengenai keterampilan hukum ini mungkin dimaksudkan untuk mengisi ruang kosong itu, karena ditujukan sebagai sebuah ‘panduan untuk mahasiswa, akademisi dan praktisi’. Namun sayangnya, setelah mencoba untuk membaca dan menelaahnya, saya khawatir buku ini tak akan dapat mencapai tujuan tersebut.

Pertama-tama, sistematika buku ini sepertinya tidak cukup membantu dalam membimbing pembacanya untuk memahami hukum secara sederhana. Pokok-pokok bahasan yang terkandung di dalam bab-babnya ternyata saling tumpang tindih, antara menjelaskan bagaimana hukum bekerja (Bab 2, 3, 4, 7), metode argumentasi hukum (Bab 3, 4, 5, 6, dan 8), serta teknik penulisan (Bab 6, 7, 9, dan 10).

Kekurangan itubisa jadi diakibatkan oleh keterlibatan beberapa penulis berbeda dalam proses penyusunannya, meskipun semestinya dapat diantisipasi dengan suatu pengantar yang jelas. Sayangnya, walaupuntelahmenjelaskan apa saja yang semestinya diketahui oleh seorang mahasiswa/sarjana hukum, Bab 1 sama sekali tidak menyinggung mengenai isi buku itu sendiri.

Oleh karenanya, sejak lembar-lembar pertamanya sekalipun,buku ini tak dilengkapidengan informasi yangdapat memandu pembacanya.Pembaca seperti dipersilahkan untuk menduga-duga sendiri, apakah hendak membacanya sebagai suatu buku yang menjelaskan mengenai sumber hukum (menurut teori dan prakteknya), metode argumentasi, atau teknik penulisan suatu dokumen hukum.

Perlu diketahui, ketiga hal tersebut merupakan topik-topik bahasan dan juga tujuan-tujuan yang berbeda, sehingga masing-masing membutuhkan pembahasan tersendiri. Supaya lengkap, dalam tulisan ini saya akan mengulasnya dari tiga sudut pandangterkait.

Pertama, sebagai sebuah buku yang mungkin bermaksud menjelaskan bagaimana hukum(secara normatif) bekerja di Indonesia, buku ini justru mengundang banyak pertanyaan yang mengambang. Pembaca tentu dapat saja mempertanyakan, misalnya, mengapa pembahasan harus diawali dengan pembedaan antara civil law, common law, religious/canonic law, dan socialist law (halaman 13). Apakah pembedaan seperti ini memang relevan untuk memahami hukum yang berlaku di Indonesia?

Sebenarnya bukan pembedaan itu sendiri yang bermasalah, karena sudut pandang seperti ini biasa digunakan dalam studi perbandingan hukum (lihat misalnya Zweigert & Kötz: 1998). Masalahnya, sekali lagi, tidak jelas apa konteks pembahasan dari rumpun-rumpun hukum itu tadi. Terlebih lagi, tak ada satupun referensi yang digunakan oleh penulisnya di situ.

Barangkali akan terlalu panjang untuk diuraikan satu-satu di sini, namun ilustrasi di atas mewakili bagian-bagian lain yang membahas mengenai sumber hukum atau penerapannya. Selain itu, sebagaimana telah disebutkan juga sebelumnya, tidak terdapat penjelasan yang memadai mengenai hubungan antara pembahasan mengenai peraturan perundang-undangan itu, dengan putusan peradilan dan doktrin yang juga merupakan sumber hukum.

Padahal, kalau memang dimaksudkan untuk menjelaskan tentang bagaimana hukum bekerja, perspektif yang digunakan oleh Paul Scholtendalam ‘Bagian Umum’ (Algemeen Deel)– yangjuga telah terkenal sebagai referensi pengantar ilmu hukum di Indonesia itu – dapat saja digunakan. Tentu dengan memperhatikan konteks yang lebih aktual di Indonesia saat ini, mengingat buku itu pertama kali terbit di tahun 1931 di Belanda. Untuk itu pula, perlu kiranya merujuk dengan jelas pada buku-buku serupa di Indonesia setelah itu.

Kedua, apabila buku ini ternyata lebih dimaksudkan sebagai suatu panduan praktis dalam merumuskan argumentasi hukum, terdapat kelemahan sistematika yang menjauhkannya dari tercapainya tujuan itu.
Jika pembaca amati, penjelasan relatif lengkap mengenai metode argumentasi baru muncul dalam Bab 8 (dan beberapa aspek terkait silogisme dalam Bab 5), meskipun penggunaan metode ini telah muncul sejak Bab 3. Akibatnya, saya ragu pembaca buku ini akan dapat memahami dan kemudian menerapkan metode argumentasi hukum dengan baik.

Sehubungan dengan sudut pandang terakhir, yaitu apabila buku ini harus dipandang sebagai panduan teknik penulisan (dokumen-dokumen hukum), pembaca juga mungkin saja bertanya-tanya mengapa penekanannya hanya pada legal opinion (Bab 6) dan karya akademik (Bab 9) saja.

Padahal, pada bab-bab lainnya  disinggung juga mengenai peraturan (dimuat dalam Bab 2, meskipun tak ada informasi mengenai Lampiran II UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), ataupun putusan hakim (dimuat dalam Bab 7, namun dalam konteks pembahasan mengenai yurisprudensi).

Jika memang dimaksudkan sebagai panduan bagi mahasiswa, akademisi, dan praktisi, sebenarnya buku ini dapat saja fokus pada pembahasan mengenai penulisan surat gugatan, surat jawaban, surat dakwaan, surat pembelaan, akta-akta baku, putusan, ataupunformat (sederhana) suatu peraturan perundang-undangan.

Dari ketiga sudut pandang di atas, saya dapat menyimpulkan bahwa meskipun tujuannya menjadi panduan dalam mempelajari keterampilan hukum, isi buku itu sendiri ternyatabelum mencerminkan hal tersebut.Meskipun demikian, harus diakui bahwa menyusun suatu panduan studi hukum bukanlah pekerjaan mudah, karena sebagian besarnya juga dipengaruhi oleh praktek hukum yang berkembang di tempat tersebut.
Tags: