Sejak 1986 MA Legalkan Kawin Beda Agama, Bagaimana dengan MK?
Utama

Sejak 1986 MA Legalkan Kawin Beda Agama, Bagaimana dengan MK?

Atas dasar HAM, Putusan MA No.1400 K/Pdt/1986 menjadi yurisprudensi atas kawin beda agama sah melalui penetapan pengadilan. Namun, belakangan muncul Surat Ditjen Dukcapil Kemendagri No.472.2/3315/DUKCAPIL tertanggal 3 Mei 2019 yang membolehkan pencatatan kawin beda agama.

Ferinda K Fachri
Bacaan 5 Menit

Awalnya, PN Jakarta Pusat yang menerima berkas perkara itu melalui Penetapan No.382/Pdt/P/1986/PN Jkt Pst menolak perkawinan beda agama dan konsisten sejalan dengan UU Perkawinan secara tertulis bahwa kawin harus seagama. Namun keduanya mengajukan upaya hukum kasasi ke MA yang mengabulkan atas dasar hak asasi manusia (HAM). Putusan MA ini menjadi dasar diperbolehkannya nikah beda agama dicatatkan di kantor catatan sipil.

“Jadi kantor pencatatan sipil sudah mulai bisa mencatatkan kawin beda agama sejak tahun 1986. Sejak saat itu, putusan ini sering dirujuk ketika ada pasangan kawin beda agama yang ingin mengupayakan tercatat sah oleh negara. Ini sudah banyak kasus hingga saat ini,” kata Edwin.

Baginya, putusan pengadilan juga sebagai bagian dari hukum positif Indonesia meskipun posisinya tidak sama seperti di negara-negara yang menerapkan common law system yang konsisten hakim-hakim terikat dengan putusan yang sudah menjadi yurisprudensi. Putusan itu tetap sah-sah saja menjadi sumber hukum yang diakui dalam sistem hukum Indonesia. Karena itu, Putusan MA No.1400 K/Pdt/1986 itu menjadi rujukan yurisprudensi mengenai kawin beda agama sah dengan penetapan pengadilan yang mengabulkan terlebih dahulu sebelum dibawa ke kantor pencatatan sipil.

Beberapa tahun lalu, di Indonesia sempat pula terdapat fase dimana untuk kawin beda agama harus ke luar negeri terlebih dahulu. Karena terdapat sejumlah negara yang menerima orang dari luar negara mereka melangsungkan perkawinan secara hukum yang berlaku di negaranya. Sehingga pasangan beda agama bisa mendapat status sudah kawin dari negara lain itu.

“Perkawinan di luar negeri, pulang ke Indonesia, (meminta dicatatkan, red) di kantor pencatatan sipil pada umumnya diterima. Sehingga mereka statusnya dalam kependudukan itu sudah kawin. Kalau saat itu (pemikiran masyarakat) mesti keluar negeri. Padahal sejak tahun 1986 tidak usah ke luar negeri, mereka cukup minta penetapan pengadilan saja.”

Meski demikian, Edwin mengaku dari sejumlah putusan hakim mengenai penetapan perkawinan beda agama banyak diantaranya dikabulkan, tetapi juga ditemukan sejumlah putusan yang ditolak. Dari hasil risetnya, masih terdapat beberapa penetapan pengadilan yang tidak merujuk pada yurisprudensi MA, tapi merujuk pada UU Perkawinan dan UU Administrasi Kependudukan saat membuat penetapan kawin beda agama.

Bagaimana sikap MK?

Terkait kawin beda agama ini, MK pernah bersikap melalui putusannya. Dalam Putusan MK No.68/PUU-XII/2014 yang dibacakan pada 18 Juni 2015 silam, MK pernah menolak pengujian Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur syarat sahnya perkawinan terkait kawin beda agama yang dimohonkan seorang mahasiswa dan beberapa alumnus FH UI.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait