Sejumlah Harapan di Tengah Minimnya Perlindungan Buruh Migran
Berita

Sejumlah Harapan di Tengah Minimnya Perlindungan Buruh Migran

Pemerintah diminta menerbitkan semua peraturan turunan UU PPMI melibatkan pemangku kepentingan; revitalisasi seluruh layanan migrasi kerja di seluruh tahapan kerja buruh migran; meratifikasi konvensi ILO No.188 tentang Perlindungan ABK dan konvensi ILO No.189 tentang Kerja Layak PRT.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Foto: RES
Foto: RES

Buruh migran Indonesia menghadapi situasi yang semakin rentan di tahun 2020. Hasil analisis media yang dilakukan Jaringan Buruh Migran (JBM) menunjukkan lonjakan kasus sebanyak 61 persen dibandingkan tahun 2019. Sekretaris Nasional JBM, Savitri Wisnuwardhani, mengungkap beberapa kasus, antara lain pemulangan buruh migran Indonesia yang tidak memiliki dokumen dengan cara dideportasi dan repatriasi.

Ada juga kasus penahanan yang menimbulkan trauma bagi buruh migran. Dari 35 responden yang disurvei, hasil sementara menunjukkan kondisi buruh migran di masa pandemi Covid-19 cenderung lebih buruk dan rentan. Misalnya, beban kerja semakin berat, pemotongan upah, tidak ada libur, dan sulit berkumpul (berorganisasi).

Melansir data Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Savitri mencatat beberapa kasus yang kerap menimpa buruh migran yakni kekerasan fisik, penganiayaan, pelecehan seksual, pelanggaran atas kontrak kerja, eksploitasi ekonomi, perdagangan orang, hingga penghilangan nyawa secara paksa. Data Solidaritas Perempuan menunjukkan terjadi kekerasan fisik berlapis dialami buruh migran perempuan.

Dari 63 kasus yang dilaporkan, ada 188 bentuk kekerasan yang dialami. Korban perdagangan orang pada umumnya juga mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik dan penahanan dokumen. “Pandemi Covid-19 menyebabkan buruh migran perempuan semakin rentan dan terbatas mobilitasnya baik dalam mengakses kebutuhan setiap hari, mendampingi, dan bantuan hukum ketika mengalami kasus,” kata Savitri ketika dikonfirmasi, Senin (21/12/2020). (Baca Juga: Kemenaker-Polri Teken MoU Perkuat Sinergisitas Lindungi Buruh Migran)  

Misalnya penanganan Covid-19 di Sabah, Malaysia, dan di Indonesia menurut Savitri mengabaikan keselamatan dan HAM buruh migran Indonesia dan keluarganya. Buruh migran yang tidak memiliki dokumen mengalami penahanan berkepanjangan atau depo imigrasi di Sabah, Malaysia karena prosedurnya rumit. Pemulangan segera juga terhambat karena Gubernur Kalimantan Utara meminta otoritas Sabah untuk menunda deportasi dengan alasan tidak ada dana untuk menerima deportan dan berdalih minimnya prosedur penanganan Covid-19 di perbatasan Nunukan.

Savitri menilai pemerintah tidak melakukan langkah nyata untuk membenahi tata kelola migrasi. Padahal itu bisa dilakukan dengan menerbitkan seluruh peraturan turunan UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia dan memastikan adanya afirmatif layanan bagi buruh migran Indonesia terutama yang bekerja di sektor rentan. Tapi pemerintah dan DPR malah mengesahkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang substansinya tidak berpihak pada buruh migran.

Tidak sesuai prosedur

Sekjen SBMI, Bobi Anwar, menyebut situasi yang dihadapi buruh migran Indonesia relatif gawat. Dia mencatat dari 643 kasus yang ditangani SBMI tahun 2020 ada 75,74 persen penempatan tidak dilakukan sesuai prosedur. Kasus yang dialami kebanyakan menimpa buruh migran perempuan 53,65 persen dan laki-laki 46,35 persen. “Penempatan tidak sesuai prosedur itu kebanyakan dilakukan perseorangan (59,14 persen), dan sisanya 40,86 persen oleh P3MI dan perusahaan penempatan pelaut awak kapal.

Tags:

Berita Terkait