Sejumlah Masukan Implementasi Moratorium Sawit Agar Lebih Efektif
Berita

Sejumlah Masukan Implementasi Moratorium Sawit Agar Lebih Efektif

Mulai pemerintah perlu menyiapkan aturan teknis implementasi inpres moratorium sawit termasuk anggarannya, meningkatkan transparansi dan akses publik mengenai laporan enam bulanan perkembangan inpres, hingga data penggunaan lahan dan izin perusahaan sawit.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
Praktik penggundulan hutan oleh perusahaan tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Foto: SGP/Hol
Praktik penggundulan hutan oleh perusahaan tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Foto: SGP/Hol

Pemerintah berupaya membenahi tata kelola perkebunan sawit agar berkelanjutan. Salah satu upaya yang dilakukan yakni menerbitkan Inpres No.8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Tapi sayangnya kalangan organisasi masyarakat sipil menilai beleid yang terbit 2 tahun silam ini belum membuahkan hasil sesuai harapan.

Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware, mengatakan pemerintah harus “tancap gas” membereskan pelaksanaan Inpres tersebut, sehingga bisa membenahi tata kelola sawit. Misalnya, menuntaskan berbagai konflik yang terjadi di perkebunan sawit. Inda menyebut pandemi Covid-19 berpotensi menimbulkan dampak terhadap implementasi kebijakan moratorium sawit yang akan berakhir September 2021 itu.

Dia berharap pemerintah dapat menemukan mekanisme kerja yang lebih adaptif terhadap kondisi pandemi, sehingga situasi ini tidak menghambat pelaksanaan moratorium. Selama 2 tahun berjalan, Inda menilai capaian yang dilakukan kementerian dan lembaga belum memuaskan karena tidak ada hasil signifikan.

Misalnya, di tingkat nasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membentuk tim kerja moratorium sawit yang anggotanya dari berbagai kementerian. Inda mencatat tim tersebut telah menyelesaikan tutupan luasan sawit yang tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian No.833/KPTS/SR.020/M/12/2019 yakni luas tutupan perkebunan sawit seluas 16,38 juta hektar. Selaras itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) telah melakukan validasi data Hak Guna Usaha (HGU) di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Papua dan Riau.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan penundaan penerbitan izin baru pelepasan kawasan/tukar menukar kawasan hutan dan telah menetapkan kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan serta menyusun rancangan Peraturan Presiden tentang tipologi penyelesaian sawit dalam kawasan hutan.

Menurut Inda, pemerintah daerah juga merespon Inpres moratorium seperti provinsi Aceh, kabupaten Buol, Sanggau, Gorontalo, dan Aceh Utara, tercatat telah menerbitkan aturan lokal dalam bentuk Surat Edaran (SE) atau Peraturan Bupati (Perbup). Ada juga daerah yang berkomitmen terhadap moratorium seperti Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Riau, Papua Barat, dan kepulauan Riau. Selain itu, kabupaten/kota Sintang, Kayong Utara, Barito Timur, Lingga, Banyuasin dan Musi Banyuasin. Capaian itu menurut Inda tak lepas dari hambatan dan tantangan.

“Sejumlah capaian baik ini tidak terlepas dari hambatan dan tantangan yang perlu diperbaiki ke depan,” kata Inda ketika dikonfirmasi, Senin (21/9/2020). (Baca Juga: Berjalan 2 Tahun, Moratorium Sawit Minim Capaian)

Koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Sawit Watch, Kaoem Telapak, Madani Berkelanjutan, Forest Watch Indonesia, dan Indonesian Center for Environtmental Law (ICEL) mencatat sedikitnya ada 5 tantangan yang dihadapi dalam implementasi moratorium sawit. Pertama, minimnya sosialisasi kebijakan. Beberapa kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota masih belum mengetahui terkait kebijakan ini. Hal ini menunjukkan proses sosialisasi kurang baik.

Kedua, pola kerja pemerintah pusat dan daerah tidak sinkron. Pola kerja sebagaimana diatur dalam Inpres yakni dari daerah ke nasional. Artinya hasil temuan pemerintah daerah yang nantinya akan dibahas di tim kerja nasional untuk tindaklanjuti. Tapi pola kerja ini tidak berjalan baik. Koalisi mencatat pemerintah pusat hanya fokus melakukan penyusunan tutupan luasan sawit. Strategi implementasi inpres tim kerja nasional dengan menetapkan 7 provinsi prioritas tidak sejalan dengan inpres karena hal tersebut tidak dimandatkan.

Ketiga, belum ada peta jalan implementasi inpres moratorium sawit. Beberapa daerah yang semangat menjalankan inpres terkendala karena tidak ada dokumen rujukan yang dapat menjadi acuan pengimplementasian inpres ini. “Sangat diperlukan hal semacam peta jalan, petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis), termasuk alokasi anggaran yang tidak disebutkan dalam inpres ini,” beber Inda.

Keempat, tidak mengedepankan prinsip keterbukaan data. Inda menyebut laporan perkembangan enam bulanan yang disusun oleh tim kerja nasional untuk dilaporkan ke Presiden sangat sulit untuk diakses kelompok masyarakat sipil. Walau tidak ada kewajiban untuk membuka dokumen ini ke publik, tapi ini sangat baik untuk dilakukan agar publik dapat memberikan masukan yang sesuai. Koalisi mengingatkan transparansi merupakan faktor penting untuk mengetahui masalah yang ada dan mencari solusinya.

Tutupan luasan perkebunan sawit yang telah dirilis juga tidak mencantumkan detail terkait berapa dan dimana likasi yang berada dalam kawasan hutan. Padahal data ini sangat memudahkan bagi tim kerja untuk melakukan evaluasi. Karena tak detail Inda menyebut wajar jika sampai sekarang belum ada kasus sawit di kawasan hutan yang dapat diselesaikan melalui Inpres ini.

“Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan ada 3,4 juta hektar perkebunan sawit di dalam kawasan hutan. Tapi sampai sekarang tidak ada kejelasan terkait pernyataan tersebut perihal lokasi, pemilik, dan tindak lanjutny,” lanjutnya.

Kelima, pemerintah belum memiliki arah yang jelas soal peningkatan produktivitas sawit. Misalnya, berapa target atau standar produktivitas sawit yang akan dituju serta bagaimana mencapainya. Pemerintah hanya fokus pada peningkatan produktivitas program peremajaan sawit rakyat (PSR) dengan memanfaatkan dana BPDP-KS yang realisasinya tergolong minim.

Untuk membenahi pelaksanaan moratorium, koalisi merekomendasikan beberapa hal antara lain pemerintah perlu menyiapkan aturan teknis implementasi inpres moratorium sawit termasuk anggarannya. Meningkatkan transparansi dan akses publik mengenai laporan enam bulanan perkembangan inpres serta data penggunaan lahan dan izin perusahaan sawit. Melibatkan lintas stakeholder untuk pelaksanaan dan pengawasan moratorium. Membuat peta jalan satu pintu pelaksanaan moratorium sawit. Implementasi inpres harus diterapkan pada seluruh wilayah Indonesia yang memiliki sawit.

Sebelumnya, Direktur Yayasan Madani Berkelanjutan, Teguh Surya, menilai pelaksanaan Inpres ini minim capaian. Pada pelaksanaan tahun pertama moratorium, sedikitnya ada 5 poin yang perlu dicermati. Pertama, belum ada peta jalan satu pintu yang menjadi petunjuk pelaksanaan Inpres di daerah. Kedua, belum ada kasus tumpang tindih lahan yang terselesaikan. Ketiga, mayoritas provinsi dengan perkebunan sawit belum merespon. Keempat, wilayah dengan tutupan hutan terluas tidak diprioritaskan. Kelima, program peremajaan sawit masih di bawah target.

“Inpres ini mandatnya jelas, tapi setelah 2 tahun berjalan capaiannya minim dan tidak ada progres yang baik di tahun kedua. Inpres ini berjalan pada tahun pertama,” kata Teguh dalam diskusi secara daring bertema "2 Tahun Moratorium Sawit: Meneruskan Langkah Maju", Selasa (15/9) lalu.

Tags:

Berita Terkait