Sejumlah Usulan LBH Jakarta Soal Draf RUU PKS Versi Baleg
Terbaru

Sejumlah Usulan LBH Jakarta Soal Draf RUU PKS Versi Baleg

Seperti hilangnya asas dan tujuan pembentukan UU membuat arah penghapusan kekerasan seksual menjadi tidak jelas, hingga hilangnya peran paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual. LBH Jakarta meminta Baleg memasukkan seluruh usulan LBH Jakarta itu dalam draf RUU PKS.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Badan Legislasi (Baleg) DPR tengah menyusun draf Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)/Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Alhasil, muncul draf RUU PKS per 30 Agustus 2021 yang disusun Baleg. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menyoroti rumusan norma yang “hilang” dan “kurang”. Dampaknya, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual dinilai jauh dari rasa keadilan dan kepastian hukum.

“Sekaligus mempertanyakan kepada pembentuk undang-undang, mau dibawa ke arah mana perlindungan korban dan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana kekerasan seksual,” ujar Pengacara Publik LBH Jakarta Citra Referandum dalam keterangannya, Sabtu (4/9/2021). (Baca Juga: Diusulkan RUU PKS Diubah Jadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual)  

Citra Referandum mengatakan setidaknya terdapat 16 catatan penting LBH Jakarta terhadap draf RUU PKS versi Baleg. Pertama,hilangnya asas dan tujuan pembentukan UU membuat arah penghapusan kekerasan seksual menjadi tidak jelas. Kedua, dihapusnya tindak pidana perbudakan seksual. Ketiga, dihapusnya tindak pidana pemaksaan perkawinan.

Keempat, ketentuan mengenai pemaksaan aborsi dihilangkan. Kelima, tidak adanya tindak pidana pemaksaan pelacuran. Keenam, pengubahan nomenklatur tindak pidana perkosaan menjadi pemaksaan hubungan seksual telah mereduksi pemaknaan atas tindakan perkosaan itu sendiri. Ketujuh, tidak dimuatnya tindak pidana kekerasan berbasis gender online. Kedelapan, menyamakan unsur kekerasan seksual terhadap korban dewasa dan anak.

Kesembilan, tidak diaturnya pidana berupa tindakan bagi pelaku. Kesepuluh, tidak adanya perlindungan khusus bagi korban dengan disabilitas. Kesebelas, hilangnya pengaturan yang mewajibkan pemerintah dalam pemenuhan hak korban adalah bukti nyata negara lari dari tanggung jawab.Kedua belas, tidak diaturnya hak-hak korban, keluarga korban, saksi dan ahli membuat mereka berada dalam posisi rentan ketika menjalani proses penegakan hukum.

Ketiga belas, tidak adanya kewajiban Pusat Pelayanan Terpadu (PPT) untuk melindungi dan memenuhi hak-hak korban. Keempat belas, arah upaya pencegahan tidak diatur secara komprehensif dalam draf, sehingga tindakan preventif yang seharusnya menjadi perhatian serius menjadi terabaikan.

Kelima belas, tidak dimuatnya larangan aparat penegak hukum (APH) melakukan tindakan diskriminatif dalam proses penegakan hukum tindak kekerasan seksual sama halnya mengamini status quo yang tidak berpihak pada korban. Keenam belas, menghilangkan peran paralegal sebagai pendamping korban kekerasan seksual.

“Memperhatikan catatan tersebut didapati draf RUU PKS versi Baleg belum mengakomodir secara komprehensif segala upaya untuk menghapus kekerasan seksual,” kata dia.

Dia meminta Baleg memasukkan seluruh usulan LBH Jakarta itu masuk dalam draf RUU PKS. Selain itu, Baleg harus membuka ruang seluas-luasnya partisipasi masyarakat dengan melibatkan secara aktif korban, pendamping, kelompok masyarakat dan ahli yang konsisten mendorong pencegahan dan penghapusan kekerasan seksual.

Wakil Ketua Baleg Willy Aditya mengatakan, RUU PKS menjadi usul inisiatif Baleg dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. RUU PKS ini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021 dengan nomor urut 16. Dia mengatakan rapat Baleg beberapa hari lalu dengan agenda mendengarkan paparan tim ahli atas penyusunan draf awal merupakan rangkaian pembahasan setelah menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) sebanyak lima kali dengan sejumlah pemangku kepentingan.

Sebelumnya, perwakilan Tim Baleg DPR, Barus Sabari dalam Rapat Pleno Penyusunan Draf RUU di Gedung Senayan Jakarta, Senin (30/8/2021) lalu, menyampaikan materi draf RUU PKS. Draft RUU PKS terdiri dari 11 bagian atau bab dengan 40 pasal.

Bab satu tentang ketentuan umum, dimana dalam RUU ini mendefinisikan kekerasan seksual diartikan setiap perbuatan yang bersifat fisik dan/atau non fisik, mengarah kepada tubuh dan/atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu, untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual dan kerugian secara ekonomis. Sedangkan tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) merupakan segala perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU tersebut.

Bab dua tentang TPKS. Terdapat lima jenis TPKS yang diatur dalam RUU yakni pelecehan seksual, pemaksaan memakai alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, eksploitasi seksual dan TPKS yang disertai dengan perbuatan pidana lain. Selain itu, diatur tindak pidana pemberatan dan pidana tambahan yang meliputi pencabutan hak asuh anak atau pengampunan, pengumuman identitas pelaku, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, pembayaran restitusi dan/atau pembinaan khusus.

Diatur pula rehabilitasi bagi pelaku kepada terpidana anak yang berusia di bawah 18 tahun atau terpidana pada perkara pelecehan seksual. Jenis-jenis rehabilitasi antara lain rehabilitasi medis, psikologis, psikiatrik dan sosial. Selanjutnya, dalam draft RUU diatur TPKS korporasi dipidana dengan pidana denda dan pidana tambahan TPKS oleh korporasi berupa pembayaran restitusi, pembiayaan pelatihan kerja, perampasan keuntungan yang diperoleh dari TPKS, pencabutan izin tertentu, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan korporasi hingga pembubaran korporasi.

"Pengurus korporasi dihukum sesuai ketentuan pidana dalam RUU ini," ujar Barus.

Bab tiga diatur tindak pidana lain yang berkaitan dengan TPKS. Dimana orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa atau saksi dalam perkara TPKS. Kemudian orang yang membantu pelarian pelaku TPKS dari proses peradilan pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun.

Kriteria membantu pelarian pelaku diantaranya memberikan atau meminjamkan uang, barang atau harta kekayaan lain kepada pelaku. Menyediakan tempat tinggal bagi pelaku, menyembunyikan pelaku atau menyembunyikan informasi keberadaan pelaku.

Bab empat diatur tentang penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terkait TPKS. Kemudian Bab lima mengatur tentang pencegahan, dimana pemerintah dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pencegahan kekerasan seksual. Bab enam mengatur peran serta masyarakat, dimana peran serta dibutuhkan dalam mencegah kekerasan seksual diwujudkan dengan tindakan diantaranya sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kekerasan seksual.

Selanjutnya Bab tujuh mengatur tentang koordinasi dimana pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan koordinasi secara berkala dan berkelanjutan untuk mengefektifkan pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual. Bab delapan mengatur tentang pendanaan, dimana pendanaan dibebankan pada APBN dan APBD. Bab sembilan diatur tentang kerja sama internasional, dimana untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan, penanganan atau pemulihan kekerasan seksual, pemerintah melaksanakan kerja sama dengan pihak asing.

Bab sepuluh mengatur tentang ketentuan peralihan, dimana saat undang-undang berlaku, perkara TPKS yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Terakhir, Bab sebelas mengatur ketentuan penutup.

Tags:

Berita Terkait