Sejuta Nestapa Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut Anak Mencari Keadilan
Feature

Sejuta Nestapa Keluarga Korban Gagal Ginjal Akut Anak Mencari Keadilan

Sejak kasus GGAPA mencuat pada Juli 2022, pemerintah belum melakukan pendekatan apapun kepada ratusan korban. Saat ini mereka mempertanyakan rasa empati pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab atas tragedi ini. Masihkah Negara memiliki hati nurani?

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 10 Menit

Rupanya Safitri tidak sendiri. Riyang Triaji, ayah dari bayi berusia 18 bulan bernama Revan Aji Pratama terpaksa meninggalkan pekerjaannya demi mengurus putranya yang dinyatakan lumpuh setelah didiagnosa GGAPA dengan kronologis kejadian yang hampir serupa dengan Hegar. Sebagai seorang ayah, Riyang merasa khawatir saat melihat demam Revan yang tak kunjung turun. Revan yang kala itu masih berusia sembilan bulan akhirnya diboyong ke rumah sakit.

Tapi malang tak dapat ditolak. Tubuh Revan malah mengalami pembengkakan setelah mengkonsumsi sirup penurun panas. Riyang kemudian membawa Revan ke RSCM setelah hasil laboratium dari rumah sakit swasta menunjukkan kandungan kreatinin yang tinggi dalam urin. Di RSCM, dokter mendiagnosa Revan mengalami GGAPA. Sempat mengalami koma selama 45 hari, Revan sadar dengan kondisi yang memprihatinkan. Tubuhnya mengalami kelumpuhan, leher di-bolong sebagai jalan pernafasan, dan melakukan hemodialisa atau cuci darah.

“Iya, anak saya sudah tidak bisa bernafas normal. Sejak saat itu anak saya full tidak bisa bergerak sama sekali sampai sekarang, full lumpuh. Boro-boro bisa ngomong, nangis aja tidak ada suaranya,” ucap Riyang dengan ekspresi kecewa.

Hukumonline.com

Keluarga korban tragedi gagal ginjal akut pada anak berfoto bersama. Foto: FNH 

Pemburukan yang terus terjadi pada fisik dan kesehatan Revan membuat Riyang memberanikan diri bertanya, siapa kiranya pihak yang bertanggung jawab atas semua yang dialami anaknya? Namun Riyang mendapatkan jawaban yang sangat tidak memuaskan. “Saya tanyain itu siapa penanggung jawabnya, malah dijawab mahasiswa UI. Harusnya dokter kek, profesor kek,” ucapnya. Tak hanya itu, perasaan Riyang sangat terluka saat dokter menyebut bahwa anaknya sudah mengalami cacat sejak lahir. “Bukannya ada omongan baik, malah bilang anak saya cacat sejak lahir. Saya tahu bagaimana anak saya sebelum sakit.”

Meminta Atensi Pemerintah

Safitri merasa kasus yang menimpa Hegar dan ratusan anak lainnya tidak mendapatkan atensi dari pemerintah, bahkan publik. Dia bahkan merasa miris dan kerap mengelus dada saat membaca pemberitaan media yang justru menyudutkan para ibu-ibu, karena dianggap membeli obat penurun panas sembarangan tanpa resep dokter. Padahal, hampir semua kasus yang menimpa anak-anak dengan GGAPA, bermula dari obat yang diresepkan oleh dokter di rumah sakit atau klinik. 

“Jadi jahat sekali berita media. Karena obat tidak dibeli sembarangan, tapi resep dokter,” aku Safitri kecewa. Riyang juga menyebut nama obat Paracetamol produksi PT Afi Farma yang menjadi penyebab awal petaka GGAPA bagi Revan. “Obatnya dari dokter. Saat viral saya lihat berita obat yang berbahaya, terus saya cek obat yang diminum Revan. Oh, benar ternyata ini sebabnya.”

Belakangan baru diketahui bahwa obat generik yang diresepkan dokter dengan merek Paracetamol produksi PT Afi Farma, mengandung etilen glikol (EG) di atas 0,1 mg/ml. Hasil uji laboratorium yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menunjukkan obat penurun panas milik PT Afi Farma mengandung EG sebesar 236,39 mg.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait