Seleksi KY: Hampir 20 Tahun Tidak Pernah Pindah dari Irian Jaya
Berita

Seleksi KY: Hampir 20 Tahun Tidak Pernah Pindah dari Irian Jaya

Pernahkah Anda bertugas di satu tempat nun jauh selama belasan tahun dan tak pernah dipindah-pindah? Bisa jadi, Anda memang sedang dikenakan sanksi. Ada ‘rahasia' seorang hakim agung yang dibongkar calon.

Oleh:
Mys
Bacaan 2 Menit
Seleksi KY: Hampir 20 Tahun Tidak Pernah Pindah dari Irian Jaya
Hukumonline

 

Jamiara malah membeberkan ‘rahasia' seorang hakim agung. Tanpa tedeng aling-aling ia menyebut hakim agung Dirwoto pernah meminta untuk tidak dipindahtugaskan ke Wamena. Kala itu, kata Jamiara, Dirwoto sedang bertugas di Jayapura. Sementara Jamiara menjadi Kepala Bagian Personalia pengadilan.

 

Tidak balas dendam

Dalam menyampaikan jawaban-jawabannya, acapkali suara Jamiara meninggi dan meledak-ledak. Apalagi ketika menyinggung permintaan dirinya untuk diangkat menjadi hakim tinggi ditolak oleh MA dan Depkeh. Nyaris terjadi perdebatan sengit antara Jamiara dengan A. Harifin Tumpa, anggota Pansel yang juga hakim agung.

 

Perdebatan itu menyangkut usia Jamiara saat mengajukan permohonan diangkat menjadi hakim tinggi. Usia 58-59 dinilai Harifin Tumpa sebagai saat yang terlambat untuk mengajukan permohonan. Jangan terlalu mempermasalahkan kalau sudah mepet, tandas mantan Ketua Pengadilan Tinggi Jakarta itu.

 

Beruntung, Ketua Pansel Abdul Gani Abdullah, menengahi dan berusaha mengalihkan pembicaraan. Rileks saja Pak Sidabutar. Kita cuma wawancara, ujarnya. Gani menyebut curhat Jamiara sebagai ‘mengeluarkan unek-unek sedikit'.

 

Seorang anggota pemantau proses seleksi itu menduga selama bertugas, Jamiara termasuk hakim barisan sakit hati karena merasa mendapat perlakuan yang tidak adil. Kekhawatiran bahwa Jamiara telah menjadi korban agaknya dirasakan juga oleh Pansel. Oleh karena itu, Pansel meminta agar Jamiara tidak balas dendam kepada hakim-hakim yang pernah menyakiti dirinya jika kelak terpilih sebagai anggota KY.

 

Saya memang pernah disakiti. Tetapi tidak ada balas dendam kepada orang, balas Jamiara. Ia hanya ingin menekankan pentingnya mengubah sistem mutasi hakim.

 

Entah karena sangat jujur atau lugu, dalam wawancara itu Jamiara justru membuka aib dirinya. Sewaktu bertugas PN Magelang dan PN Lubuk Pakam, ia pernah memutus bebas terdakwa pelaku tindak pidana korupsi. Mendengar penjelasan itu, anggota Pansel pun menggut-manggut. Maksudnya?    

Pengalaman tidak mengenakkan yang disampaikan oleh Jamiara Sidabutar pada hari kedua seleksi calon anggota Komisi Yudisial di Aula Pengayoman Departemen Hukum dan HAM, Selasa (12/4). Menurut pengakuan Jamiara, ia bertugas di Papua (dulu Irian Jaya) sejak 1966 dan baru dimutasi pada 1985. Ia mulai bertugas sebagai panitera ketika Irian Jaya masih bergolak.

 

Jamiara mua kala itu baru lulus dari Sekolah Hukum Jaksa jurusan hakim di Malang. Pemerintah mendorong kaum muda agar mau berkorban ke Irian Jaya, termasuk orang-orang yang berkiprah di bidang hukum. Mendengar seruan Pemerintah itu, Jamiara memilih bertugas ke Irian, meskipun sebenarnya ia ditugaskan ke Rengat Riau.

 

Apa lacur, belasan tahun Jamiara bertugas di daerah nun jauh. Setelah dimutasi, daerah penempatannya tidak pernah mampir ke daerah ‘basah'. PN di Jakarta sama sekali tidak pernah dia injak. Sebab, ia hanya bertugas di Banjarmasin, Jember, Magelang dan Lubuk Pakam. Niatnya pensiun sebagai hakim tinggi tinggal kenangan. Permohonannya tidak pernah dikabulkan. Padahal saya sudah menemui Dirjen Badilumtun dan Ketua MA, ujarnya. 

 

Tapi, tidak dimutasinya Jamiara selama belasan tahun menimbulkan persepsi negatif. Anggota Pansel Amir Syamsudin mempertanyakan apakah itu merupakan bentuk sanksi terhadap Jamiara, cuma yang bersangkutan tidak menyadari. Saya merasa tidak pernah membuat kesalahan, kata bekas Ketua PN Magelang itu dengan suara tinggi.

Tags: