Sengkarut SP3 KPK dalam Perkara BLBI
Kolom

Sengkarut SP3 KPK dalam Perkara BLBI

​​​​​​​Pemberian SP3 KPK ini akan menjadi kotak pandora bagi pemberantasan korupsi.

Bacaan 5 Menit

Secara singkat, perkara penerbitan SKL terhadap obligor BLBI yang telah lama menarik perhatian publik ini bermula pada tahun 1998 lalu. Kala itu, di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia, banyak institusi perbankan terdampak dan kemudian dikategorikan sebagai Bank Take Over maupun Bank Beku Operasi. Salah satu dari sekian banyak bank tersebut adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) dengan pemegang saham pengendalinya (PSP) Nursalim. Atas kondisi itu, Bank Indonesia pun mengucurkan BLBI kepada BDNI sebesar Rp30,9 triliun. Namun, pada kenyataannya, pemerintah mengendus adanya berbagai penyimpangan atas suntikan dana itu. Akibatnya, BDNI diwajibkan melakukan penyelesaian melalui mekanisme Master Settlement Aqcuisition Agreement (MSAA).

Melandaskan pada MSAA, jumlah kewajiban pembayaran Nursalim, setelah dikurangi seluruh aset miliknya adalah sebesar Rp28 triliun. Permasalahan pun timbul, dalam salah satu aset yang dijaminkan oleh Nursalim, yakni pinjaman kepada petani tambak senilai Rp4,8 triliun, ternyata digolongkan sebagai kredit macet (misrepresentasi). Kesimpulan itu diambil berdasarkan dua pendekatan audit, masing-masing financial due diligence dan legal due diligence. Benar saja, tatkala dilakukan penjualan oleh Kementerian Keuangan pada tahun 2007, aset Nursalim itu hanya laku sebesar Rp220 miliar. Sehingga selisih penjualan itu yang kemudian diklaim sebagai kerugian keuangan negara oleh BPK. Pertanyaan pun timbul, dengan logika sederhana, mengapa aset yang sediakala sudah diketahui bermasalah, akan tetapi tetap diterbitkan SKL oleh Tumenggung selaku Kepala BPPN pada tahun 2004?

Tentu menjadi hal janggal jika tindakan Tumenggung itu tidak dipandang sebagai perbuatan pidana sebagaimana disebutkan dalam putusan kasasi. Sebab, unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Tumenggung sudah jelas terlihat. Misalnya, sebelum menjabat Kepala BPPN, Tumenggung sempat menduduki posisi sebagai Sekretaris Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). Kala itu ia sempat bertemu dengan Nursalim untuk menagih pembayaran hutang BDNI. Selain itu, beberapa hari sebelum SKL itu dikeluarkan, Tumenggung selaku Kepala BPPN juga sempat mengusulkan pada forum rapat terbatas yang dihadiri Presiden Megawati Soekarno Putri untuk menghapus (write off) hutang Nursalim. Namun, rapat tersebut tidak menghasilkan kesimpulan apa pun. Ini menandakan pemerintah belum menyetujui usulan dari Tumenggung itu.

Selang beberapa waktu kemudian, tepatnya pada tanggal 26 April 2004, Tumenggung resmi mengeluarkan SKL yang ditujukan kepada PSP BDNI, Nursalim. Sebenarnya, ia pun sadar bahwa dampak penerbitan SKL itu akan menghilangkan kesempatan negara untuk menagih Rp4,8 triliun dari Nursalim. Jadi, melihat perbuatan Tumenggung, dengan sendirinya unsur menghendaki dan mengetahui (willen en wetten) sudah terpenuhi. Sedangkan Nursalim, tentu tepat jika juga dimintai pertanggungjawaban pidana. Sebab, sedari awal niat jahat (mens rea) dari yang bersangkutan ingin mengelabui negara dengan menjaminkan aset bermasalah.

Selain problematika putusan kasasi, ihwal penolakan permohonan PK oleh MA juga menarik untuk dibincangkan. Meskipun telah ada putusan MK yang menyebutkan bahwa penuntut umum dilarang mengajukan PK, akan tetapi ada satu isu penting di balik vonis itu, yakni independensi hakim. Betapa tidak, salah satu majelis hakim terbukti melakukan komunikasi dan bertemu dengan kuasa hukum Tumenggung, sesaat sebelum putusan dibacakan. Sehingga, bukan tidak mungkin vonis kasasi itu diwarnai dengan pertimbangan atau keadaan yang tidak objektif.

Berkenaan dengan kontekstual saat ini, terutama pasca dikeluarkannya SP3, rasanya penting bagi KPK untuk segera memanfaatkan Pasal 32 ayat (1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait gugatan perdata. Regulasi itu menegaskan bahwa Penyidik dapat menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Pengacara Negara tatkala tidak ditemukan cukup bukti, sedangkan di waktu yang sama telah ada kerugian keuangan negara, untuk selanjutnya dilakukan gugatan perdata. Ini penting untuk memastikan adanya pertanggungjawaban dari Nursalim atas perbuatannya.

Terakhir, pemberian SP3 KPK ini akan menjadi kotak pandora bagi pemberantasan korupsi. Saat ini korupsi BLBI sudah dihentikan, ke depan, bukan tidak mungkin akan ada perkara lain yang mungkin jauh lebih besar kerugian keuangan negaranya akan bernasib sama. Maka dari itu, menjadi hal wajar jika publik melihat substansi Pasal 40 UU KPK adalah bentuk pelemahan serius terhadap agenda pemberantasan korupsi.

*)Kurnia Ramadhana adalah Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait