Sepanjang 2020-2023 Terbit 317 PP, Potensi Over Regulasi
Edisi Khusus Legislasi 2023

Sepanjang 2020-2023 Terbit 317 PP, Potensi Over Regulasi

Diperkirakan jumlah PP yang belum diterbitkan dan aturan turunan lainnya lebih banyak ketimbang jumlah PP periode 2020-2023. Perlu memperketat masuknya usulan PP dan Perpres ke dalam instrumen perencanaan atau Progsun.

Ady Thea DA/RFQ
Bacaan 5 Menit

“Itu karena tidak ada lagi energi untuk mengatur lebih detail seperti UU PT,” ujarnya.

Belum serius

Terpisah, peneliti senior Pusat Studi Kebijakan Hukum (PSHK) Indonesia, Muhammad Nur Sholikin berpandangan, upaya pemerintah dengan melakukan perbaikan tata kelola peraturan perundangan masih belum menunjukan langkah serius. Terutama dalam menekan produksi peraturan perundangan di bawan UU.

Setidaknya studi PSHK beberapa waktu lalu menunjukkan kondisi hiper degulasi berasal dari pemerintah dengan jumlah PP, Peraturan Presiden (Perpres) dan peraturan menteri (Permen) yang sedemikian besar saban tahun. Di sisi lain, dari jumlah yang besar tersebut, data PSHK menunjukkan sepanjang periode 2014-2018 sebesar 90% PP dan Perpres yang dibentuk merupakan PP dan Perpres di luar perencanaan atau yang dikenal dengan program penyusunan (Progsun) setiap tahunnya.

“Perlu upaya perbaikan untuk menekan jumlah produksi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang meliputi PP, Perpres dan Permen,” ujarnya.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera Indonesia itu berpandangan, prioritas perbaikan perlu dilakukan mulai dari tahap perencanaan. Pemerinah dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM yang mengoordinisasikan perencanaan PP dan Perpres perlu memperketat masuknya usulan PP dan Perpres ke dalam instrumen perencanaan atau progsun.

Tidak hanya sekedar menginventarisasi usulan Kementerian/lembaga, namun juga melakukan filtering dari sisi materi pengaturan terutama untuk jenis-jenis PP dan Perpres yang bersifat mandiri (tanpa pendelegesian tegas dari peraturan di atasnya, - red). Selain itu perlu diupayakan simplifikasi pengaturan dengan menggabungkan pengaturan-pengaturan untuk materi atau sektor yang sama/bersinggungan ke dalam satu peraturan perundang-undangan.

“Pola ini dapat menekan jumlah peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan sekaligus dapat menghindari tumpeng tindih antar peraturan,” ujarnya.

Pria yang juga sempat menjadi Direktur Eksekutif PSHK periode 2015-2019 itu menilai, jumlah peraturan yang banyak berpotensi menimbulkan inefisiensi regulasi yang dapat menimbulkan beban baru bagi birokrasi maupun masyarakat. Dampak lainya adalah munculnya tumpang tindih peraturan yang bisa menumbuh suburkan ego sektoral dalam praktik pemerintahan.

Tags:

Berita Terkait