Sepenggal Kisah Mata Uang dari Gedung Hulp en Spaar Bank di Purwokerto
Berita

Sepenggal Kisah Mata Uang dari Gedung Hulp en Spaar Bank di Purwokerto

Mata uang bukan hanya alat pembayaran yang sah, tetapi juga salah satu simbol kedaulatan negara.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Foto: MYS
Foto: MYS
Setiap 17 Agustus diperingati sebagai hari kemerdekaan negara Republik Indonesia. Upacara bendera dilaksanakan di kantor-kantor instansi pemerintahan untuk memperingati pengibaran sang saka Merah Putih pada 17 Agustus 1945. Banyak nilai historis patut direnungkan dari perigatan kemedekaan karena kemerdekaan itu bermakna kedaulatan negara.

Nilai historis perjuangan bangsa juga layak dipahami dari sejarah mata uang negara ini. Pentingnya memaknai sejarah perjalanan mata uang juga bisa disimak dari Penjelasan Umum UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Rupanya, dalam sejarah pengaturan macam dan harga mata uang di Indonesia pasca kemerdekaan telah pernah dibentuk empat undang-undang yang mengatur mata uang. Keempatnya sebagai amanat Pasal 109 ayat (4) UUDS 1950.

Sebenarnya UUD 1945 tegas mengamanatkan pengaturan macam dan harga mata uang dengan Undang-Undang. Dalam rangka itulah dibentuk UU No. 7 Tahun 2011. Mata uang dipandang sebagai salah satu simbol kedaulatan negara. (Baca juga: Uang Rupiah Baru Diresmikan, Begini Penampakannya).

Tetapi sejarah mata uang di Indonesia sudah tercatat jauh sebelum era kemerdekaan. Jika ingin menelusuri perjalanan sejarah mata uang dan contoh-contoh uang yang pernah diterbitkan, salah satu tempat yang bisa dikunjungi adalah museum sejarah Bank Rakyat Indonesia yang terletak di Jalan Sudirman No. 57 Purwokerto, Jawa Tengah.

Di samping museum berdiri patung Raden Aria Wirjaatmaja. Nama Patih Banyumas ini tak bisa dilepaskan dari sejarah perbankan di Indonesia, khususnya BRI. Di samping kiri patung berdiri rumah kecil yang dulu dipakai Rade Aria sebagai bank yang memberi pinjaman kepada priyayi pribumi. Rumah kecil inilah replika dari De Poerwokertosche Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Bestuur Ambtenaren (Hulp en Spaar Bank) yang dibangun tahun 1895.

Di dalam museum tahap demi tahap perkembangan mata uang sejak zaman VOC, masa penjajahan Belanda, pendudukan Jepang hingga pasca kemerdekaan bisa dilihat, lengkap dengan contoh mata uangnya. Bahkan ada juga mata uang yang dipakai pada masa Portugis bertuliskan cinguenta escudos (50) dan vinte escudos (20).

Kongsi Dagang Belanda alias VOC memperkenalkan mata uang logam yang mereka terbitkan, dan diteken oleh para pemegang saham VOC, biasa disebut Heeren XVII. Saat itu dikenal nama uang Stuiver, Doit, dan Silver Ryder (Dukaton). Duit berbentuk koin itu sengaja dicetak di Belanda untuk diedarkan di daerah-daerah monopoli VOC. Ketika Pemerintah Belanda menduduki Indonesia pasca keruntuhan VOC, diedarkan uang khusus yang dicetak oleh de Javasche Bank. Jenisnya berupa uang kertas dan uang logam yang terbuat mulai dari perunggu hingga emas. Selama masa penjajahannya (1799-1942) Pemerintah Belanda telah beberapa kali menggani mata uang dengan bermacam-macam ukuran dan gambar.

(Baca juga: Rupiah Desain Baru Bakal Beredar, Bagaimana Nasib Uang Lama? Ini Kata BI).

Setelah menduduki Indonesia dan mengambil alih kekuasaan dari Belanda, Jepang juga mengedarkan uang untuk mengganti mata uang Belanda. Jepang membuat uang kertas yang oleh masyarakat dikenal sebagai Uang Jepang. Ada tiga kali emisi mata uang pada periode Jepang. Emisi pertama adalah mata uang de Japansche Regering yang menggunakan bahasa Belanda (gulden). Emisi kedua berupa uang Pemerintah Dai Nippon. Pada tahun 1943, emisi ketiga dikeluarkan berupa Dai Nippon Teikoku Seishu. Uang kertas ini sudah menggunakan bahasa Indonesia dengan satuan rupiah, yang terdiri dari ½ rupiah, 1 rupiah, 5 rupiah, dan 10 rupiah.

Hukumonline.com

Pasca kemerdekaan
Di Museum Bank Rakyat Indonesia di Purwokerto juga tergambar bagaimana perjalanan mata uang yang berlaku di Indonesia pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Namun lantaran berbagai halangan dan persiapakan banyak hal sebagai negara baru, Oeang Republik Indonesia (ORI) baru bisa diterbitkan 14 bulan setelah kemerdekaan. Disebut periode ORI I, pada 30 Oktober 1946, diterbitkan uang bernilai 1, 5, 10 dan 50 sen serta 1, 5, 10 dan 100 rupiah. ORI I diteken oleh Menteri Keuangan Mr. A.A Maramis. Pada pecahan 1-10 rupiah ada gambar Presiden Soekarno. Uang ini dicetak di Jakarta. (Baca juga: Ini Sanksi Bagi Penjual yang Menolak Pembayaran Pakai Uang Receh).

Di Yogyakarta, pada 1 Januari 1947,  dicetak dan diedarkan ORI II dan III. ORI II dan diteken Mr Sjafruddin Prawiranegara, berupa pecahan 5, 10, 25, dan 100 rupiah. Selanjutnya pada 26 Juli 1947 diterbitkan ORI III berupa pecahan 1, 10, 25, 50, 100, dan 250 rupiah. Seri ketiga ini diteken Mr. A.A. Maramis.

Agresi militer Belanda dan blokade, ditambah sulitnya berkomunikasi antara pusat dan daerah membuat peredaran uang nasional sulit. Beberapa daerah akhirnya membuat mata uang sendiri. Pemerintah pusat mengizinkan pencetakan apa yang disebut Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA). Kebijakan ini diambil untuk mengatasi kekurangan  uang tunai di daerah. Dalam sejarahnya dikenal Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera (URIPS), Uang Republik Indonesia Tapanulis (URITA), Uang Republik Indonesia Provinsi Sumatera Utara (URIPSU), Uang Republik Indonesia Baru Aceh (URIPBA), dan Uang Republik Indonesia Daerah Banten (URIDAB).

Kini, semua wilayah Indonesia menggunakan mata uang rupiah dengan beragam pecahan mulai dari 100 rupiah hingga 100 ribu rupiah. Uang itulah antara lain yang menyatukan seluruh wilayah Nusantara. Pasal 23B UUD 1945 menegaskan bahwa macam dan harga mata uang ditetapkan dengan Undang-Undang. Amanat inilah yang ditindaklanjuti dengan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

Rupiah kertas dengan ciri yang disebut dalam UU No. 7 Tahun 2011 mulai berlaku, dikeluarkan, dan diedarkan pada tanggal 17 Agustus 2014. Bertepatan pula dengan hari kemerdekaan, bukan?
Tags:

Berita Terkait