Sepuluh Masalah RUU Pengampunan Pajak
Berita

Sepuluh Masalah RUU Pengampunan Pajak

Sistem hukum pajak bersifat memaksa, bukan mengampuni.

FNH
Bacaan 2 Menit
Foto: www.seknasfitra.org
Foto: www.seknasfitra.org
Pemerintah dan DPR akhirnya sepakat untuk membahas Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau RUU Tax Amnesty. Semula, RUU ini diusulkan DPR, tetapi kemudian menjadi hak inisiatif Pemerintah. Koordinator dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Apung Widadi menegaskan pengampunan pajak (tax amnesty) tidak menjamin akan meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak. Justru, potensi penerimaan pajak untuk negara akan hilang dan lenyap.

Menurut Apung, dalam desain RUU Pengampunan Pajak target dalam APBN 2016 khusus pengampunan pajak hanya Rp16 triliun. “Sedangkan nilai penerimaan pajak di luar negeri itu mencapai Rp4000 triliun. Dan diduga hanya mengampuni obligator BLBI karena tahun 2016 kasus Rp600 triliun itu kadaluarsa,” kata Apung dalam konperensi pers di Jakarta, Rabu (16/12).

FITRA mencatat ada sepuluh masalah dalam RUU Pengampunan Pajak. Pertama, dasar argumentasi RUU Pengampunan Pajak salah tafsir. UUD 1945 sudah meletakkan dasar-dasar konstitusional pemungutan pajak dalam proses APBN. Sistem hukumnya bersifat memaksa, bukan mengampuni.

Kedua, ada skala prioritas.  Revisi UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) dan revisi UU No. 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) perlu didahulukan dari RUU Pengampunan Pajak. Secara substansi, RUU Pengampunan Pajak juga mendegradasi UU KUP terkait kewenangan dan penyederhanaan pemungutan pajak.

“Proses RUU Pengampunan Pajak ini terkesan dipaksakan karena belum ada naskah akademiknya. Sehingga potensi melanggar aturan sebelumnya akan sangat besar,” jelas Apung.

Ketiga, RUU ini diduga bertentangan dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU Keuangan Negara menentukan keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan. RUU Pengampunan Pajak mengabaikan prinsip-prinsip ini.

Keempat, sistem pengampunan pajak selalu gagal saat dicoba pada tahun 1964 dan 1984 karena tidak sejalan dengan dengan sistem dan mekanisme tata cara pemungutan pajak. Kebijakan tax amnesty hanya dimanfaatkan orang tertentu tanpa berdampak signifikan terhadap pendapatan negara. RUU ini pun sesungguhnya bertentangan dengan KUP dan diprediksi akan kembali gagal.

Kelima, RUU Pengampunan Pajak berpotensi menjadi fasilitas ‘karpet merah’ bagi konglomerat, pelaku kejahatan ekonomi dan finansial, dan pencucian uang. Di mana dalam RUU tersebut dicantumkan bahwa asal seorang atau badan mengajukan pengampunan, maka akan dilakukan proses pengampunan tanpa melihat asal usul harta. “Tidak disaring, sehingga RUU ini berpotensi menarik banyak uang haram dalam APBN dan perekonomian Indonesia,” tambahnya.

Keenam, pengampunan pajak ini akan semakin memperlebar jarak kemiskinan dan kesejahteraan elit dan jelata karena sistem ini tidak adil. Hal tersebut tercermin dari pengampungan yang diberikan dalam bentuk sanksi pidana perpajakan, dan sanksi dengan berupa uang. Hal ini kemudian menjadi bertolak belakang dengan sistem hukum bahwa semua warga negara sama didepan hukum. Justru orang kaya mendapat perlakuan khusus dari pemerintah.

Ketujuh, RUU ini tidak efektif mengukur jumlah harta perseorangan dan badan. Dalam RUU ini pengampunan didasarkan pada persentase jumlah harta secara keseluruhan untuk merumuskan seberapa besar jumlah uang tebusan. Sistem ini naïf karena masalah rahasia perbankan yang sistem Dirjen Pajak pun belum bisa masuk dan bebas tanpa bantuan penegak hukum.

Kedelapan, jumlah uang muka dalam RUU Pengampunan Pajak ini sangat kecil dan tidak berdampak pada peningkatan pendapatan  negara dari sektor pajak. Tercatat uang tebusan hanya 3 persen, 5 persen, dan 8 persen. Seharusnya tanpa sanksi pidana, uang tebusan di atas 25 persen. Ini dinilai sebagai kebijakan akal-akalan yang berpotensi menguntungkan kelompok tertentu di saat dalam negeri membutuhkan uang segar untuk pembiayaan infrastruktur.

Kesembilan, amanat pembentukan Satuan Tugas Pengampunan Pajak langsung dibawah Presiden ini dinilai tidak akan efektif dan tumpang tindih dengan Dirjen Pajak dan penegajk hukum lain. Sistem data dan informasi juga tidak transparan dan akuntabel. Selain itu, jika pembiayaan menggunakan APBN semakin memboroskan negara, dan jika sesuai RUU ini dihitung dari persentase penarikan uang tebusan justru akan bermasalah dari sisi transparansi dan akuntabilitasnya.

Kesepuluh, potensi korupsi berupa ruang transaksional sangat tinggi, yang tercermin dari pengelolaan yang diserahkan kepada Satgas karena sistem pengawasan, transparansi, dan akuntabilitasnya tidak ada. Justru ruang ini akan menjadi proses transaksional yang legal dengan memanipulasi oerhitungan uang tebusan dan lain sebagainya.

Mengingat masalah-masalah di atas, FITRA meminta Presiden untuk menarik usulan Tax Amnesty.  Apung menilai pentingnya sensus pajak dilakukan untuk membaca dan menggambarkan berapa potensi pajak yang bisa diperoleh oleh negara. “Ini juga akan melemahkan KPK. Dan jangan tunduk pada skenario untuk mengampuni penjahat BLBI yangakan kadaluarsa 2016 nanti,” tegasnya.

Sebelumnya, setelah menuai perdebatan dalam rapat paripurna, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty –Pengampunan Pajak- resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Kesepakatan itu diambil setelah dilakukan lobi antar fraksi di luar rapat paripurna.

Awalnya, di tingkat Badan Legislasi (Baleg), RUU Tax Amnesty disepakati menjadi hak inisiatif pemerintah. Namun, dinamika dalam rapat paripurna menuai perdebatan panjang. Menurut Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan, mengingat batas waktu Prolegnas 2015 akan berakhir pada 18 Desember mendatang, maka kedua RUU tersebut dilanjutkan pembahasannya pada Prolegnas 2016.

Sementara itu partner pada Tax Research and Training Services Tax Center Danny Darussalam, B. Bawono Kristiaji, berpendapat desain pengampunan pajak sebaiknya difokuskan pada harta yang selama ini tidak dilaporkan dan berorientasi pada kepatuhan di masa yang akan datang. Selain itu, pemerintah juga perlu membuat fitur pengampunan pajak yang lebih menarik untuk menjamin partisipasi.

Ia juga berharap Pemerintah memastikan kepada publik bahwa kebijakan pengampunan pajak hanya akan diberikan satu kali seumur hidup. Setelah ada pengampunan pajak otoritas pajak akan lebih kuat sehingga upaya penegakan hukum pajak akan lebih meningkat.
Tags:

Berita Terkait