Serba-Serbi Praktik Outsourcing di Sekitar Kita
Catatan Akhir Tahun 2008:

Serba-Serbi Praktik Outsourcing di Sekitar Kita

Banyak praktik outsourcing yang melanggar peraturan perundang-undangan. Modus baru outsourcing pun bermunculan.

IHW
Bacaan 2 Menit
Serba-Serbi Praktik Outsourcing di Sekitar Kita
Hukumonline

 

Pelanggaran

Berdasarkan pengamatan hukumonline atas beberapa perkara yang disidangkan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta, menunjukkan beberapa contoh pelanggaran praktik outsourcing.

 

Kasus outsourcing di Rumah Sakit Pusat Pertamina  adalah salah satu contoh nyata pelanggaran terhadap ketentuan ketenagakerjaan yang berlaku. Hakim PHI Jakarta menilai terjadi pelanggaran pelaksanaan outsourcing di tempat itu, yaitu tak adanya perjanjian tertulis antara pihak rumah sakit sebagai user dengan koperasi pegawai RSPP selaku agen.

 

Contoh lain penyimpangan outsourcing terjadi di pintu jalan tol Lingkar Luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road, JORR). Di sana, sebagian besar petugas tiket di pintu tol berstatus sebagai pegawai outsourcing. Padahal masyarakat awam pasti bisa menilai bahwa pekerjaan menjaga pintu jalan tol adalah bisnis inti dari perusahaan penyelenggara jalan tol. Artinya tak layak kalau pekerjanya berstatus karyawan kontrak apalagi outsourcing. Kasus ini sendiri kabarnya siap berlanjut ke pengadilan.

 

Bicara pelanggaran praktik outsourcing tak akan ada habisnya. Meski peraturan perundang-undangan sudah membatasi hanya PT dan Koperasi yang boleh menjadi agen outsourcing, namun fakta bicara lain. Selain PT dan Koperasi, perusahaan yang berbentuk Yayasan atau bahkan CV pun ikut-ikutan menjadi agen penyedia jasa outsourcing.

 

Khusus mengenai CV yang latah menjadi agen outsourcing, hukumonline menemukannya di dua tempat. Pertama di sebuah apartemen di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Di tempat itu, manajemen apartemen menjalin kerja sama dengan sebuah CV untuk menyediakan jasa satuan pengaman (satpam, security).

 

Tempat kedua yang menggunakan jasa CV adalah sebuah LSM terkenal yang berdomisili di Jakarta. CV itu menempatkan petugas cleaning service untuk bekerja di LSM itu. Ironisnya, LSM itu kerap bergandeng tangan dengan serikat buruh untuk menolak sistem kerja kontrak dan outsourcing.

 

Penyelundupan hukum

Selain penyimpangan atau pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang, ternyata ada praktik ‘outsourcing' yang lain. Berlindung di balik perjanjian kerja sama dengan perusahaan lain, suatu perusahaan menggunakan jasa seorang tenaga kerja tanpa perlu mengangkat statusnya sebagai pekerja.

 

Pengalaman ini terjadi Korea National Oil Company (KNOC). Perusahaan minyak asal negeri ginseng itu akhirnya ‘kegetok' palu hakim PHI Jakarta. Secara implisit, hakim PHI dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa KNOC melakukan penyelundupan hukum.

 

Ceritanya begini. Sejak memiliki kantor perwakilan di Indonesia, KNOC melakukan perjanjian sewa-menyewa mobil dengan perusahaan rental mobil. Nah, dalam perjanjian itu juga ditegaskan bahwa KNOC juga ‘menyewa' jasa sopir. Namun hingga beberapa kali berganti rekanan rental mobil, ternyata KNOC masih tetap ‘menyewa' sopir yang lama.

 

Majelis hakim PHI Jakarta memang mengakui bahwa transportasi bukanlah kegiatan inti KNOC. Namun ketika KNOC tetap ‘menyewa' sopir yang sama meski telah bergonta-ganti rekanan rental mobil, maka hakim berpendapat bahwa demi hukum status si sopir adalah pekerja tetap KNOC. Jadi perusahaan minyak itu harus membayar pesangon jika ingin memutus ‘penyewaan' jasa sopir. Kabar terakhir, KNOC sedang mengajukan kasasi atas putusan hakim PHI ini ke Mahkamah Agung.

 

Yogo Pamungkas, pengajar Hukum Perburuhan Universitas Trisakti mengakui masih banyaknya celah dalam UU Ketenagakerjaan. Khususnya pasal yang mengatur outsourcing. Harus segera diubah undang-undangnya. Jika outsourcing ingin tetap dipertahankan, maka harus ditutupi celahnya supaya tak ada pelanggaran maupun penyelundupan hukum dalam pelaksanaannya, ujarnya, Rabu (24/12).

 

Strategi Menghadang

Para aktivis dan pengurus serikat buruh tak tinggal diam atas praktik outsourcing ini. Saat masih seumur jabang bayi, 37 pengurus serikat buruh langsung menggugat UU Ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu yang digugat adalah landasan hukum keberadaan outsourcing. Sayang, saat itu hanya dua orang hakim konstitusi yang menyatakan outsourcing bertentangan dengan UUD 1945. Sisanya tak berpandangan demikian. Alhasil khusus mengenai outsourcing, permohonan buruh ditolak hakim.

 

Kandas lewat jalur hukum tak menyurutkan perjuangan para serikat buruh. Dalam tiap aksi demonstrasinya di hari buruh 1 Mei, isu penolakan terhadap sistem outsourcing dan kerja kontrak terus diusung para buruh. Namun hingga kini Pemerintah dan DPR bergeming atas tuntutan buruh itu. Mereka tak juga merevisi ketentuan mengenai outsourcing dan sistem kerja kontrak.

 

Rita O Tambunan, Sekretaris Eksekutif Trade Union Right Centre (TURC) pernah mengemukakan bahwa salah satu cara yang bisa ditempuh serikat buruh adalah dengan membuat kesepakatan dengan perusahaan untuk tidak menggunakan pekerja outsourcing. Dalam lingkup perusahaan, kesepakatan itu bisa dituangkan dalam Perjanjian Kerja Bersama. Sementara dalam lingkup yang lebih luas, kesepakatan itu dicantumkan dalam sebuah framework agreement.

 

Odie Hudiyanto, Sekretaris Federasi Serikat Pekerja Mandiri mengaku sedang menerapkan strategi yang disebutkan Rita. Alhamdulillah, Hasilnya cukup menekan angka buruh kontrak dan outsourcing di masing-masing perusahaan, kata Odie pada suatu kesempatan.

 

Lebih jauh Odie mengingatkan, strategi menghadang outsourcing melalui Perjanjian Kerja Bersama ini hanya bisa ditempuh jika solidaritas di antara buruhnya kuat. Supaya kuat buruhnya harus berserikat. Kalau tidak kuat, mana mungkin bisa menghadang praktik outsourcing di perusahaan? pungkasnya.

 

Secara normatif pengalihan sebagian pekerjaan ke perusahaan lain atau lazim dikenal dengan outsourcing, bukan hal yang diharamkan. UU Ketenagakerjaan No 13 Tahun 2003, membolehkan perusahaan untuk mengoper sebagian pekerjaannya ke perusahaan lain.

 

Meski dibolehkan, UU Ketenagakerjaan mengatur outsourcing secara terbatas. Misalnya, pelaksanaan outsourcing harus dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis dan harus didaftarkan ke Dinas Tenaga Kerja. Hal ini diatur dalam Pasal 64 UU Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 101 Tahun 2004 (Kepmen 101/2004).

 

Bentuk pembatasan lain outsourcing juga terlihat dari pihak yang dibolehkan menerima pengalihan kerja atau menyediakan tenaga kerja (agen). UU Ketenagakerjaan misalnya yang menyebutkan bahwa agen harus berbadan hukum dan tercatat di Dinas Tenaga Kerja sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja. Kepmen 101/2004 malah lebih tegas lagi. Hanya perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas dan Koperasi yang boleh menjadi agen outsourcing.

 

Dari sisi perusahaan yang mengalihkan pekerjaan dan menerima tenaga kerja outsourcing (user), undang-undang juga memberi pembatasan. User tak boleh sembarangan meng-outsourcing pekerjaan ke perusahaan lain. Hanya pekerjaan yang bukan kegiatan inti (non core bussiness) yang boleh dioper ke perusahan lain.

Tags: