Serikat Pekerja Buka Posko Pengaduan BPJS
Berita

Serikat Pekerja Buka Posko Pengaduan BPJS

Sudah terbentuk di 12 provinsi.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Serikat Pekerja Buka Posko Pengaduan BPJS
Hukumonline
Sejumlah serikat pekerja yang tergabung dalam Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS) membuka posko pengaduan BPJS. Menurut Sekjen KAJS, Said Iqbal, saat ini posko fokus menerima pengaduan masyarakat atas penyelenggaraan BPJS Kesehatan. Ia yakin banyak warga yang belum mengetahui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar BPJS Kesehatan sejak 1 Januari 2014 itu.

Sampai saat ini posko pengaduan sudah terbentuk di 12 provinsi dan 120 kabupaten/kota. Posko itu terletak di kantor serikat pekerja di berbagai daerah yang tergabung dengan KAJS. Seperti sekretariat KSPI, FSPMI, SPSI, OPSI, FSBI dan FSP TSK. Untuk memudahkan masyarakat, posko membuka call center di nomor 021-87796916 dan fax 021-8413954.

Pekerja membuka posko lantaran menilai pemerintah setengah hati menyelenggarakan BPJS. Misalnya, terkait fasilitas kesehatan, penganggaran, regulasi dan transformasi PT Askes dan Jamsostek menjadi BPJS. Masalah ini diyakini akan berpengaruh pada pelayanan. Iqbal mencatat 10,3 juta warga miskin dan tidak mampu bakal ditolak Puskesmas, Klinik dan Rumah Sakit (RS

UU SJSN dan BPJS menegaskan peserta BPJS wajib membayar iuran. PBI seharusnya menjadi tanggungan pemerintah. Namun, pemerintah hanya mau menanggung 86,4 juta orang peserta PBI. Data Tim Nasional Percepatan Pengentasan Kemiskinan (TNP2K) menunjukan jumlah orang miskin dan tidak mampu ada 96,7 juta orang. “Pemerintah setengah hati jalankan BPJS Kesehatan karena 10,3 juta orang terancam tidak mendapat pelayanan kesehatan,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (03/1).

Ketidakseriusan itu juga tampak dari belum terbit atau dipublikasikannya seluruh peraturan pelaksana BPJS seperti revisi Perpres tentang Jaminan Kesehatan. Akibatnya, pelaksanaan BPJS Kesehatan, khususnya bagi peserta penerima upah menjadi tidak jelas. Iqbal mengingatkan, regulasi itu perlu mengatur perusahaan yang mampu membayar iuran jaminan kesehatan lebih dari yang ditetapkan. Misalnya, besaran iuran untuk penerima upah sebesar 4,5 persen dari upah sebulan, tapi perusahaan yang bersangkutan selaku pemberi kerja mau membayar iuran lebih dari itu. Oleh karenanya, butuh regulasi yang mengatur agar perusahaan tersebut tidak menurunkan besaran iuran jaminan kesehatan bagi pekerjanya. Atau bagi perusahaan yang mau menanggung iuran BPJS Kesehatan sebesar 4,5 persen maka pekerja tidak perlu mengiur.

Pada kesempatan yang sama presidium KAJS sekaligus koordinator advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mencatat pemerintah luput memperhatikan berbagai hal dalam menyiapkan peluncuran BPJS. Misalnya, bagaimana dengan nasib anak jalanan dan terlantar yang sulit diketahui asal-usul keluarganya. Atau anak-anak yang ada di panti asuhan. Menurut Timboel pemerintah berkewajiban menanggung beban mereka dan mendaftarkannya menjadi peserta BPJS Kesehatan. Baginya hal itu sejalan dengan pidato Presiden SBY dalam peluncuran BPJS pada 1 Januari 2014 lalu yang menyebut tidak ada lagi rakyat miskin yang ditolak RS.

Persoalan lainnya menurut Timboel berkaitan dengan sistem rujukan yang digunakan BPJS Kesehatan. Sebab dari advokasi yang dilakukan BPJS Watch, Timboel menemukan seorang PNS golongan IV berusia lanjut yang jatuh sakit dan keadaannya kritis tidak mendapat pelayanan rujukan yang baik. Sebab, rujukan yang diberikan Puskesmas di Kalimantan Tengah itu untuk RS tipe C. Ketika di bawa ke RS tipe C, pasien yang bersangkutan tidak mendapat pelayanan yang memadai.

Alhasil, Timboel menandaskan, beberapa hari kemudian pasien tersebut meninggal dunia. Atas dasar itu Timboel mengingatkan agar proses rujukan harus disesuaikan dengan kondisi peserta. Jika kondisi kesehatan peserta tergolong buruk dan butuh ditangani cepat maka harus dirujuk ke RS yang tepat tanpa proses yang berbelit. “Mekanisme rujukan ini jangan kaku, harus melihat kondisi pasien (peserta BPJS Kesehatan,-red),” tegasnya.

Lalu terkait Pekerja Rumah Tangga (PRT), menurut Timboel pemberi kerja atau majikan harus mendaftarkannya lewat skema peserta penerima upah. Sehingga besaran iuran yang ditanggung sebesar 4,5 persen dari upah sebulan. Untuk pekerja sektor formal yang belum terdaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan, Timboel mengimbau agar mereka segera mendaftar sendiri. Hal itu menurutnya sesuai dengan putusan MK. Usai mendaftar maka BPJS Kesehatan bertugas menagih iuran kepada pemberi kerja.

Sedangkan anggota Presidium KAJS dari FSP TSK, Indra Munaswar, mengaku dalam tiga hari beroperasinya BPJS Kesehatan sudah menerima banyak pengaduan dari masyarakat. Misalnya, peserta mandiri Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek ternyata tidak beralih secara otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan. Selain itu ketika BPJS Kesehatan bergulir mereka harus membayar iuran lebih mahal.

Indra menemukan ada rakyat miskin yang mencoba mendaftar menjadi peserta BPJS Kesehatan tapi kebingungan kemana harusmendaftar. Kebingungan itu bisa terjadi karena regulasi tak jelas.  Tak ada juga amanat bagi pejabat pemerintah seperti camat dan lurah untuk membantu warga mengakses BPJS. Padahal untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan, warga yang bersangkutan harus mendapat kartu BPJS. Menurutnya, BPJS harus merujuk praktik Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang melibatkan pejabat lokal sehingga memudahkan masyarakat.
Tags:

Berita Terkait