Setyo Heriyanto:
Agar Sehat, Koperasi Butuh Good Corporate Governance
Edsus Lebaran 2013:

Setyo Heriyanto:
Agar Sehat, Koperasi Butuh Good Corporate Governance

Seperti mahluk hidup saja. Kalau koperasi tak dikelola baik, maka tanda-tandanya kerdil karena tak ada masyarakat atau konsumen yang mendekati. Apalagi kalau mati, masyarakat mana yang akan mendekati.

INU/M-14
Bacaan 2 Menit

Sudah banyak koperasi yang berpikiran seperti itu?
Jumlahnya sudah banyak. Tapi untuk mengubah pola pikir itu tidak mudah dan tidak cepat. Banyak pula yang ‘mengaku’ sudah menjadi badan hukum. Tapi pelayanan pada anggota saja belum baik, apalagi pada masyarakat.

Yang belum siap berperilaku sebagai badan hukum itu seperti apa?
Begini, mereka-mereka yang pada umumnya mempunyai manajer pasti mempunyai pengurus yang kompeten. Ini sebenarnya sudah langsung masuk atau langsung terjun sebagai badan hukum. Yang enggak itu kan yang memang dia di kepalanya masih ini, masih itu kira-kira. Sekarang banyak yang mengaku badan hukum, tapi ketika tanggal tua, buka lagi tanggal dua. Yang namanya badan hukum itu buka tiap hari. Wong Sabtu-Minggu aja buka. Malah peredaran uang itu kan banyak di Sabtu-Minggu. Iya kan? 

Apakah ada koperasi yang tidak hanya bermanfaat bagi anggota, tapi juga bagi masyarakat sekitar?
Manfaatnya tergantung usaha koperasi masing-masing. Kalau koperasi yang merupakan badan hukum itu sehat, tentu masyarakat akan mendekati dan menjadikan koperasi itu besar. Seperti mahluk hidup saja. Kalau tak dikelola baik, maka tanda-tandanya kerdil karena tak ada masyarakat atau konsumen yang mendekati. Apalagi kalau mati, masyarakat mana yang akan mendekati. Karena itu, supaya sehat maka koperasi harus dikelola dengan menerapkan good corporate governance. Perilaku seperti ini tak bisa ditularkan pada lembaga yang masih dalam kelompok pranata sosial.

Apakah koperasi bisa didirikan oleh perseorangan?
Gak bisa. Jangan hanya baca Pasal 1 UU No. 17 Tahun 2012 saja. Kalau orang hukum, pasti tahu siapa subjek dan siapa objek. Badan hukum itu objek yang diberikan, sedangkan subjeknya orang per orang. Jumlahnya berapa? Misalnya 20. Lihat Pasal 7, minimal 20 orang. Kan yang mengesahkan Menteri Koperasi. Kalau satu orang, ya tak akan kita sahkan. Orang per orang itu pengganti subjek.

Pada tahun 1967, koperasi sempat menjadi abdi politik, rezim mana yang paling  mendukung perkembangan koperasi di Indonesia?
Sebetulnya, yang diperlukan koperasi bukan soal dukung-mendukung, tapi memformat yang benar. Pemerintah selalu berusaha memberikan format yang benar. Nah, sekarang kita berikan lintasan yang sirkuitnya itu jelas. Mohon dicatat soal badan hukum legalitas usaha. Tidak berarti setelah mendapat status badan hukum, dia bebas melakukan kegiatan usaha. Bukan begitu. Karena masih ada lagi yang harus dipenuhi yakni izin usaha.

Izin usaha itu beda dengan legalitas usaha. Keduanya dibuat di kementerian yang berbeda. Dulu, orang mengajari badan hukum sekaligus izin usaha. Jadi dia terpuruk karena malas mengisi izin usaha hingga akhirnya usahanya gitu-gitu saja. Usaha yang tidak perlu izin itu kelasnya mikro. Jenis usaha ini tidak perlu izin, tapi paling terdaftar atau dicatat.

Mengenai koperasi itu kan jadi banyak jenisnya, tidak hanya melulu kayak koperasi simpan pinjam, bahkan sekarang koperasi syariah. Apa makna perkembangan ini? Apakah bergeser dari makna sebenarnya?
Tidak. Koperasi selalu kita kembalikan ke Pasal 33 ayat (1) UU. Apa di situ disebutkan bahwa koperasi sebagai pelengkap? Enggak toh. Koperasi itu sebagai pelaku. Pelaku itu bagaimana? Dia ada di ayat (1). Pelaku itu kan mestinya diprioritaskan, kalau tidak diprioritaskan, mestinya dia tidak di ayat (1), bacanya kan gitu. Berarti dia mesti menjadi pelaku utama. Mengapa pelaku utama? Karena dia dimungkinkan dimiliki oleh orang banyak, makanya dia harus menjadi pelaku utama.

Tags: