Simalakama Pemerintah Hadapi Freeport
Berita

Simalakama Pemerintah Hadapi Freeport

Penerbitan Perppu dan bersinergi bersama membangun smelter menjadi jalan tengah mengatasi polemik Freeport.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua. Foto: ADY
Pertambangan PT Freeport Indonesia di Papua. Foto: ADY
Ancaman PT Freeport terhadap pemerintah Indonesia membawa sengketa perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) ke Arbitrase Internasional nampaknya tak main-main. Pemerintah di bawah kepemimpinan Joko Widodo dengan gagah menerima tantangan perusahaan yang sudah bercokol di tanah Papua sejak puluhan tahun silam. Genderang “perang” di meja hijau seolah ditabuh.

Anggota Komisi VII DPR Harry Purnomo menilai persoalan Freeport terbilang pelik. Persentase kemenangan pemerintah Indonesia di arbitrase internasional pun tipis. Indonesia memang memiliki keunggulang di bidang energi sumber daya alam. Sayangnya konsisten pemerintah Indonesia terhadap pelaksanaan UU terbilang lemah. Baca Juga: Freeport Pertimbangkan Gugat Indonesia ke Arbitrase Internasional

Meski jauh-jauh hari parlemen sudah mengkritik pelaksanaan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), pemerintah tak bergeming. Dalih pemerintah tak melanggar ketentuan peraturan perundangan-undangan. Pemerintah belakangan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

“Menurut saya kurang bijak juga apabila pemerintah itu merasa terlalu percaya diri kalau arbitrase kita akan menang. Saya tidak tahu strategi pemerintah seperti apa,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Kamis (23/2/2017).

Politisi Partai Gerindra itu menilai mestinya ada upaya antisipasi ketika kalah di arbitrase, setidaknya resiko-resiko yang bakal ditanggung pemerintah. Menegakan kedaulatan negara dan nasionalisme memang mesti didukung. Namun tidak kemudian semangat dari UU yang mengatur sumber daya alam justru diingkari. Menurutnya, ketika Indonesia bertempur di forum arbitrase dan misalnya berujung kalah. Dampaknya, ada konsekuensi hukum yang mesti diterima pemerintah.

Direktur Eksekutif Energi Watch Indonesia (EWI) Ferdinan Hutahean menilai sedari awal isi KK melemahkan Indonesia sebagai bangsa. Sebab, Freeport sudah seperti negara dalam negara di tanah Papua. Apalagi, KK diatur dalam UU No. 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan yang bersifat lex spesialis terhadap KK. Baca juga : Pilih IUPK Operasi Khusus, Rezim KK Freeport dan PT AMMAN Berakhir

Dia merujuk Pasal 31 KK ada klausul yang isinya Freeport berhak memperpanjang kontrak kapan saja. Dengan aturan tersebut, membuat pemerintah Indonesia menjadi lemah. Pergantian rezim ke Susilo Bambang Yudhoyono terjadi negoisasi dengan komitmen-komitmen. Polemik mulai terjadi ketika di era Jokowi. Lalu, pemerintah menerbitkan PP No. 1 Tahun 2017 diantaranya isinya peningkatan royalti pajak dan pembangunan smelter.

Karena itu, dia mengusulkan mestinya dilakukan amandemen terhadap KK agar dapat mengakomodir ketentuan UU Minerba. Sebab UU yang dijadikan acuan dalam KK adalah UU 11 Tahun 1967. “Kalau sekarang kan dasar hukumnya UU PMA, kemudian kita paksakan secara hukum. KK itu lex spesialis karena ditandatangani dengan dasar hukum yang ada saat itu,” kata dia.

Menurutnya, pemerintah tak konsisten dalam penerapan UU Minerba. Namun, justru pemerintah percaya diri menantang Freeport. “Kalau dibawa ke arbitrase, kita pasti kalah. Saya berani taruhan. Posisi pemerintah maju kena, mundur berarti tunduk. Kalau kalah kita kena ancaman gugatan 500 triliun. Kalau tidak mau bayar, aset kita aka disita,” kata dia memperkirakan.

Saran solusi
Ketimbang bertempur di forum arbitrase internasional yang posisi dinilai lemah, pemerintah Indonesia diminta bersabar hingga Kontrak Karya berakhir pada 2021. Menurut Harry, kebutuhan terhadap smelter lebih ke pemerintah Indonesia. Ia menilai bila saja Freeport membutuhkan smelter, dipastikan sudah dibangun sejak lama. Namun, di mata Freeport, boleh jadi smelter tidak efisien.

Harry menyarankan perlu ada sinergi antara pemerintah dan Freeport serta perusahaan tambang lain untuk membangun smelter, Newmont misalnya. Meski ada biaya yang harus dikeluarkan setidaknya kompensasinya bisa diakumulasikan dengan divestasi yang diperoleh pemerintah. Dengan bersinergi membangun smelter sebagai solusi, setidaknya pembangunan smelter dan divestasi dapat terwujud.

“Ini salah satu solusi,” katanya. Baca Juga : Berencana Gugat ke Arbitrase, DPR : Jangan Istimewakan Freeport

Ferdinan menambahkan, pemerintah mesti berpikir cermat. Mundur selangkah untuk kemudian maju tiga langkah. Langkah lain yang dapat ditempuh yakni pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) sebagai pengganti UU Minerba. Setelah itu, Perppu tersebut menutupi celah kekurangan dalam UU Minerba untuk kemudian disahkan menjadi UU. Setelah itu menerbitkan aturan turunan berupa PP (baru).”

“Solusi lain, pemerintah mesti berani mengeluarkan Perppu dan tidak usah menantang Freeport ke arbitrase. Kalau mau berdiplomasi itu lebih baik,” sarannya.
Tags:

Berita Terkait