Sivitas Akademika UI Desak Pemerintah Batalkan PP 75/2021
Terbaru

Sivitas Akademika UI Desak Pemerintah Batalkan PP 75/2021

PP 75/2021 dinilai cacat baik secara formil dan substansi. PP ini juga dinilai sarat dengan kepentingan politik.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 6 Menit
Gedung Rektorat UI. Foto: ui.ac.id
Gedung Rektorat UI. Foto: ui.ac.id

Persoalan rangkap jabatan menjadi pembicaraan hangat di kalangan sivitas Universitas Indonesia (UI) pasca terbitnya PP No 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI. Polemik ini muncul lantaran pemerintah merevisi Pasal 35 Huruf c PP No 68 Tahun 2013 tentang Statuta UI, yang pada dasarnya melarang rektor dan wakil rektor rangkap jabatan sebagai pejabat di BUMN/BUMD/Swasta.

Namun, dalam PP 75/2021 itu, pemerintah membuka peluang Rektor UI dan Wakil Rektor UI melakukan rangkap jabatan sebagaimana diatur Pasal 39 huruf c dengan merevisi kata “pejabat” menjadi “direksi”. Perubahan kata tersebut membuat Rektor UI boleh merangkap jabatan wakil komisaris/komisaris sepanjang bukan jabatan direksi pada BUMN, BUMD, atau swasta. Alhasil, Rektor UI mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Komisaris Utama BRI, Kamis, (22/7), lantaran dikritik sejumlah kalangan.

Buntut dari kasus ini, muncul penolakan PP 75/2021 dari kalangan sivitas akademika UI. Sejumlah akademisi kemudian menuntut pemerintah untuk mencabut atau membatalkan PP 75/2021 lantaran dinilai cacat secara formil dan substansi. Secara formil pembahasan PP 75/2021 disebut ajaib karena tidak melibatkan sejumlah organ-organ di UI. Sedangkan secara substansi PP 75/2021 banyak menabrak peraturan perundang-undangan lain.

“Cabut dulu PP 75/2021, sementara kita kembali dulu ke Statuta UI yang lama sebagaimana diatur dalam PP 63/2013. Jangan Status Quo, negara ini kebanyakan Status Quo,” kata Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI), Gandjar Laksmana B. Bondan dalam sesi diskusi daring bertajuk “Menilik Statuta UI yang Baru”, Sabtu (24/7/2021). (Baca Juga: Larangan Rektor Rangkap Jabatan untuk Cegah Konflik Kepentingan dan Kebebasan Akademik)

Menurut Gandjar, Pasal 39 PP 75/2021 melangggar etika dan setengah jalan menuju pelanggaran hukum. Jika memang Statuta UI membutuhkan revisi, dia menilai proses penyusunan hingga pengesahan harus melibatkan semua pihak. Jika perubahan itu dirasakan perlu, pembahasan revisi Statuta UI harus dilakukan perlahan dan dibahas bersama-sama, bukan hanya oleh pihak-pihak tertentu saja.

“Jangan jadi sulap. Dan jangan harap hukum akan ditata sama pribadi yang tidak menghormati etik, jangan mimpi,” ujarnya.

Di sisi lain, Gandjar mengakui tak semua isi PP 75/2021 berdampak buruk terhadap keberlangsungan UI. Tetapi ketika cacat ditemukan dalam sebuah produk hukum, seminim apapun itu, peraturan tersebut layak untuk ditolak. Dia mengingatkan semua pihak, terutama sivitas UI untuk tidak terbuai dengan pasal-pasal “bagus” yang ada di dalam PP 75/2021.

“Kita boleh bersenang-senang di satu pasal, tapi berhati-hati di pasal lain. Satu saja cacat, cukup alasan untuk menentang. UI jangan cuma jadi miniatur-nya Indonesia, tapi juga harus jadi ‘antivirus’,” ujarnya mengumpamakan.

Banyak keganjilan

Proses penyusunan hingga pengesahan PP 75/2021 pun dinilai banyak keganjilan. Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI (FIB UI) Prof. Manneke Budiman menyebut urgensi untuk merevisi statuta tidak jelas. Revisi hanya berdasarkan pada telaah Senat Akademik (SA) atas norma akademik dan peraturan rektor tentang akademik yang ada dan dianggap perlu direvisi.

“Jadi ada yang tidak nyambung antara penyataan bahwa Statuta yang diubah dengan alasan-alasan yang dipakai untuk mengubah. Urgensinya untuk mengubah tidak ada dan tidak jelas. PP 75/2021 ini jadi bukti keroposnya UI sebagai identitas bangsa,” kata Prof. Manneke pada acara yang sama.

Keganjilan lainnya terjadi pada 5 Februari dimana empat organ UI yakni Senat Akademik (SA), Majelis Wali Amanat (MWA), Dewan Guru Besar (DGB), eksekutif Kemdikbud diundang rapat dan disampaikan bahwa revisi Statuta UI merupakan permintaan dari Kemdikbud dengan alasan untuk dijadikan model bagi PTN lain. Namun nyatanya revisi Statuta dimohonkan oleh Rektor. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Kemdikbud dimana mereka hanya memfasilitasi aspirasi UI.

Atas pertemuan itu, kemudian DGB melakukan rapat usulan revisi Statuta. DGB bersama dengan SA mengajukan draft masing-masing. Sedangkan Majelis Wali Amanat (MWA) tidak mengajukan draft revisi. Pada Februari 2020, gabungan empat organ tim mulai membahas draf usulan revisi dari DGB dan SA dan Rektor menerbitkan SK Rektor untuk Tim Revisi yang terbit pada 27 Maret 2020 yang berlaku hingga Mei 2020.

Kemudian pada Juni 2020 dihasilkan RPP yang masih harus dibahas lebih lanjut di Kemdikbud. Saat itu, SK Tim Revisi Statuta sudah kadaluarsa, tapi tim tetap terus melanjutkan pembahasan dengan Kemdikbud menyusul terbitnya SK Rektor baru pada September 2020.

Namun anehnya, lanjut Prof. Manneke, pada 11 September 2020, MWA mengirimkan draft revisi Statuta ke Rektor tanpa tembusan ke dua organ lain dalam tim yakni DGB dan SA. Rapat bersama Kemdikbud pun dilaksanakan pada 30 September 2020 dimana MWA tiba-tiba mengajukan usulan yang sebelumnya tidak pernah dibahas bersama Tim Revisi empat organ. Disinilah asal muasal masuknya pasal rangkap jabatan.

Dalam proses pembahasannya terjadi perdebatan dan belum ditemukan kesepakatan atas 34 butir perubahan yang diajukan. Kemdikbud mengundang rapat kembali pada tanggal 7, 14, dan 21 Oktober, tapi rapat tersebut dibatalkan. Di sisi lain terjadi rapat-rapat lain yang dihadiri oleh eksekutif dan WMA tanpa sepengetahuan DGB dan SA.

Lalu pada 2 Juli 2021, tiba-tiba PP 75/2021 terbit dan DGB baru menerima PP secara resmi pada 19 Juli 2021. Melihat keganjilan ini Prof. Manneke menilai sudah ada iktikad tidak baik sejak awal proses revisi. PP dikerjakan secara tergesa-gesa tanpa memperhatikan format legal yang berlaku, berhasil dimuluskan jalannya oleh instansi-instansi terkait. Proses pembahasan dilakukan sangat cepat dengan akibat cacat dalam prosedur, isi dan format.

Prof Manneke menilai PP 75/2021 tidak bertujuan untuk memajukan UI dalam berbagai aspek, tetapi membuat UI semakin rentan terhadap kepentingan politik luar.

“Hasil telaah SA atas norma akademik dan bukan Statuta, itu yang dijadikan surat dan landasan perubahan statuta, premis mayor dan minor tidak sesuai. Oleh siapa, mana dokumennya, kenapa tidak digunakan sebagai landasan di surat Rektor kepada Mendikbud pada Januari 2020. Sudah ada bau busuk dari awal. Ini membuat UI makin rentan dengan kepentingan politik luar, ini tujuan tersembunyi dari PP itu,” bebernya.

Guru Besar FH UI Prof Sulistyowati Irianto menegaskan universitas tidak bisa disamakan dengan lembaga politik. Universitas merupakan gerakan moral dalam masyarakat yang nir kekuasaan politik dan uang. UI sebagai universitas yang otonom harus memiliki tata kelola check and balance, prinsip transparan dan akuntabel baik dari sisi keuangan maupun SDM. Jika semua itu tidak terpenuhi, maka otonomi kampus telah diselewengkan.

Penyelewengan atas otonomi universitas tersebut sekaligus mengingkari cita-cita founding fathers UI Mr. Soepomo, mengurangi kemampuan UI untuk mengembangkan ilmu pengetahuan melalui pendidikan, pengajaran, pengabdian masyarakat, dan berbagai kegiatan akademik lainnya. Tentu ini akan memerosotkan wibawa UI di mata masyarakat ilmiah dan publik yang luas.

Diubah tanpa kesepakatan

Dalam proses penyusunan dan pengesahan PP 75/2021, Prof. Sulistyowati memastikan bahwa hal tersebut dilakukan tanpa adanya kesepakatan. Sehingga banyak pasal yang tidak ada dalam draft perubahan Statuta, tiba-tiba muncul dalam PP 75/2021, salah satunya adalah pasal rangkap jabatan yang memicu kehebohan di masyarakat.

Selain pasal rangkap jabatan, Prof. Sistyowati menyoroti PP 75/2021 yang menghapus syarat bahwa anggota MWA adalah unsur masyarakat yang tidak boleh berasal dari anggota parpol. Padahal, lanjutnya, syarat ini penting untuk menjaga UI sebagai lembaga akademik yang independen, bebas dari pengaruh politik.

“Diubah tanpa kesepakatan, mengubah rangkap jabatan ini dan jadi kehebohan di masyarakat. Anehnya di draft tidak disetujui, tapi di PP muncul. Lembaga otonom UI tidak boleh disamakan dengan lembaga politik,” katanya.

Untuk itu, Prof. Sulistyowati pun menyerukan dan mendesak pemerintah untuk mencabut PP 75/2021. “Kami tidak memiliki pilihan lain selain cabut PP 75/2021, dan berharap organ-organ lain bisa mendengarkan suara ini. PP ini butuh dicabut dan jika memang harus direvisi kembali harus mendengarkan suara semua pihak,” pintanya.

Sementara itu Ketua BEM UI Leon Alvinda mengatakan pihaknya hanya dilibatkan dalam proses pembahasan revisi Statuta hingga 23 September 2020. BEM UI sendiri sempat menyusun masukan terkait draft revisi Statuta, namun tiba-tiba PP 75/2021 terbit tanpa kejelasan bagian mana yang direvisi dan tidak direvisi.

“Tidak ada kabar lagi setelah 23 september 2020 dan tiba-tiba PP disahkan, tidak ada yang jelas mana yang ditambahkan dan mana yang tidak ditambah, bagaimana rasionalisasi kenapa ditolak dan diterima, bagaimana proses pengesahan dan penyerapan aspirasi  tidak jelas,” kata Leon.

Melihat isi-isi pasal dalam PP 75/2021, Leon menilai hal tersebut akan menghancurkan UI jika tidak disikapi dan dibiarkan. UI akan menjadi jalan masuk kepentingan lain, dan hal ini hanya menunggu waktu untuk universitas lain. Leon menegaskan BEM UI mendorong PP 75/2021 untuk dicabut. Jika revisi dilakukan, mahasiswa harus dilibatkan dan disepakati oleh semua pihak baik guru besar, dosen, mahasiswa dan seluruh pihak yang memiliki kepentingan dengan UI.

“Sependek pengetahuan kami, ini akan menghancurkan UI bila dibiarkan. Statuta baru harus dicabut demi kebaikan UI. Kami akan terus memperbaiki kajian, secara prinsip kita semua harus sepakat Statuta baru ini sangat merugikan UI, dan kita akan sama-sama mendesak Statuta UI ini untuk dibatalkan,” tegasnya

Tags:

Berita Terkait