Soal Kasus BW, Akademisi Diminta Tak Intervensi Presiden
Berita

Soal Kasus BW, Akademisi Diminta Tak Intervensi Presiden

Jangan jadikan sistem penegakan hukum menjadi sistem terpimpin, yang artinya semua apa kata presiden.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Akhir pekan lalu, puluhan akademisi meminta agar Presiden Joko Widodo menghentikan kasus  Wakil Ketua KPK non aktif Bambang Widjojanto (BW) melalui Jaksa Agung H Prasetyo. Alasannya, kasus BW tidak layak diteruskan masuk ke ranah pengadilan. Namun, hal ini mendapat tanggapan keras dari Wakil Ketua Komisi III DPR, Benny K Harman.  

“Jangan memaksa presiden untuk melanggar hukum. Jangan menjebak presiden untuk lakukan pelanggaran hukum,” ujarnya di Gedung DPR, Senin (5/10).

Benny meminta kalangan akademisi mengkuti sistem ketatanegaraan yang berlaku. Bukan sebaliknya, melakukan intervensi terhadap penegakan hukum. Semestinya, kalangan akademisi melakukan pengawasan ketat terhadap proses hukum yang berjalan saat ini di tingkat kepolisian dan kejaksaan.

“Kalau hakim di pengadilan memang berdasarkan fakta tidak berbukti, ya bebaskan beliau demi hukum. Demikian juga kejaksaan kalau secara hukum tidak layak, ada mekanisme hukum SP3. Itu hal yang biasa. Tetapi jangan minta presiden intervensi hukum,” ujarnya.

Politisi Partai Demokrat itu berpandangan, meski menganut sistem presidensil, namun dalam  ketatanegaraan tidak boleh presiden melakukan intervensi terhadap penegakan hukum kepada Jaksa Agung. Menurutnya, mesti Jaksa Agung dan Kapolri diangkat oleh presiden atas persetujuan DPR, tidak berarti dapat melakukan intervensi dalam penegakan hukum.

“Saya mohon akademisi jangan rusak sistem  sistem negara. Kalau mau, kita perkuat itu tegakan sistem itu. Jangan jadikan sistem penegakan hukum menjadi sistem terpimpin, yang artinya semua apa kata presiden. Kita tidak menganut demokrasi terpimpin. Kita tidak menganut sistem penegakan hukum terpimpin,” ujarnya.

Senada, anggota Komisi III Junimart Girsang  menilai dalam penegakan hukum mesti berjalan independen tanpa intervensi dari siapapun, termasuk presiden. Terlebih, masyarakat tidak diperbolehkan melakukan intervensi kepada presiden agar menghentikan penegakan hukum yang sedang berjalan.

“Presiden tidak bisa diintervensi. Kalau itu dilakukan akan jadi preseden buruk, biarlah tunggu di persidangan,” ujarnya.

Junimart berpandangan, dalam penegakan hukum seorang presiden tak layak melakukan intervensi penegakan hukum. Apalagi tak ada dasar hukumnya presiden melakukan intervensi dalam penegakan hukum. Terlebih, penanganan kasus sudah di tingkat kejaksaan dan akan dilimpahkan ke pengadilan.

“Kalau dihentikan kenapa tidak dari dulu. Berikan contoh yang baik bagi polisi dan kejaksaan supaya mantab,” ujarnya.

Sebelumnya, sebanyak 70 orang akademisi meminta Presiden Jokowi mengingatkan Jaksa Agung agar menghentikan kasus BW. Setidaknya, Jaksa Agung dapat menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penuntutan (SKPP). Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan terdapat tiga alasan yang membuat kasus BW tidak layak dilanjutkan ke pengadilan.

Pertama, kasus yang menjerat  BW  saat ia menjalani profesi sebagai advokat, bukan sebagai pimpinan KPK. Kedua, Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai lembaga advokat  telah dua kali melayangkan surat rekomendasi kepada Kapolri. Intinya, kasus yang menimpa BW merupakan pelanggaran kode etik, bukan pidana.

Ketiga, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) telah melakukan penelusuran dan menemukan perkara tersebut tidak didahului oleh serangkaian proses penyelidikan. Alhasil, temua itu diteliti oleh para akademisi. Menurutnya, desakan itu bukanlah sebagai bentuk intervensi maupun kepentingan subjektif  terhadap presiden. “Bola panasnya kini ada di tangan Presiden Joko Widodo,” pungkasnya, Jumat (2/10) pekan lalu.
Tags:

Berita Terkait