Spektrum Legal Standing Anggota DPR dalam Pengujian UU
Kolom

Spektrum Legal Standing Anggota DPR dalam Pengujian UU

​​​​​​​Pemberian legal standing bagi anggota DPR dalam pengujian undang-undang sangat ditentukan oleh variabel kasus dan bangunan argumentasinya.

Bacaan 2 Menit

 

Dalam risalah rapat pleno ke-17 perubahan UUD 1945 oleh Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (PAH I BP MPR) tanggal 22 Mei 2001 yang membahas tentang embrio MK, muncul penggalan dialog di mana Ramlan Surbakti, sebagai anggota tim ahli, menyampaikan beberapa persoalan pelik, antara lain, apakah presiden yang sudah menandatangani berlakunya sebuah undang-undang bisa mengajukan pengujian undang-undang ke MK; atau, bagaimana jika dalam proses perumusan undang-undang terjadi tirani mayoritas di DPR.

 

Munculnya pertanyaan-pertanyaan Ramlan dalam risalah rapat PAH I BP MPR tersebut menunjukkan bahwa posisi pembuat undang-undang (DPR dan presiden) dalam pengujian undang-undang di MK sudah dipikirkan dan dibayangkan secara simulatif sejak kewenangan MK dirumuskan dalam konstitusi. Desain apapun yang kemudian dipilih pasti memiliki celah, termasuk ketika menetapkan DPR sebagai pemberi keterangan. Apakah pilihan itu menutup peluang bagi anggota DPR untuk menjadi pemohon? Waktu dan pengalamanlah akhirnya yang menjawab.

 

Jejak Legal Standing Anggota DPR

Sependek pengetahuan penulis, tidak banyak perkara pengujian undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR. Pertama kali anggota DPR menjadi pemohon pengujian undang-undang terjadi pada tahun 2007.

 

Waktu itu, Zainal Arifin, Sonny Keraf, Alvin Lie, Ismayatun, Hendarso Hadiparmono, Bambang Wuryanto, Dradjad Wibowo, dan Tjatur Sapto Edy, masing-masing dalam kapasitas sebagai perorangan warga negara dan anggota DPR, mengajukan pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang tercatat dalam Perkara No. 20/PUU-V/2007. Mereka mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 11 ayat (2) yang mewajibkan setiap kontrak kerja sama diberitahukan kepada DPR. Perkara tersebut kemudian diputus tidak dapat diterima karena para pemohonnya dinilai tidak memiliki legal standing.

 

Klaim para pemohon sebagai perorangan warga negara dalam kedudukannya sebagai anggota DPR dimentahkan oleh MK dengan alasan bahwa perorangan warga negara biasa dengan perorangan anggota DPR berbeda hak-hak konstitusionalnya. MK menilai sangat janggal jika undang-undang yang dibuat oleh DPR masih dapat dipersoalkan konstitusionalitasnya oleh anggota DPR.

 

MK tidak menampik adanya kelompok minoritas dan mayoritas di DPR. Namun, MK menekankan bahwa, secara fatsoen politik, apabila undang-undang telah disetujui oleh DPR melalui prosedur demokratis dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, harus dipatuhi oleh seluruh anggota DPR.

 

Anggota DPR berikutnya yang mengajukan pengujian undang-undang di MK adalah Lily Chadijah Wahid dalam kapasitas sebagai perorangan warga negara, anggota DPR, dan kader Partai Kebangkitan Bangsa. Tercatat dalam Perkara No. 151/PUU-VII/2009 tentang Pengujian UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Lily mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 23 mengenai larangan rangkap jabatan menteri dengan pimpinan organisasi yang dibiayai negara. Oleh MK, Lily dinilai tidak memiliki legal standing karena dalam jabatannya melekat hak-hak konstitusional yang berbeda dengan hak konstitusional warga negara pada umumnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait