Standar Kompetensi, Amunisi Memasuki MEA
Berita

Standar Kompetensi, Amunisi Memasuki MEA

Pekerja sektor pariwisata dinilai paling siap.

ADY
Bacaan 2 Menit
Menaker Hanif Dhakiri. Foto: RES
Menaker Hanif Dhakiri. Foto: RES

Pemerintah sudah menetapkan standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI) untuk sejumlah jasa seperti real estate, industri,  pengolahan, pertanian, kehutanan, dan perikanan, pekerjaan domestik dan pariwisata. Penetapan standar kompetensi itu dituangkan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan yang terpisah.

Standar kompetensi itu penting bagi tenaga kerja Indonesia dalam memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Namun, belum semua bidang jasa itu bisa bersaing. Menteri Ketenagakerjaan M Hanif Dhakiri, mengatakan tenaga kerja sektor pariwisata paling siap menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). SKKNI sektor pariwisata sudah kuat karena para pekerja umumnya memiliki kompetensi dan sertifikasi kerja, sehingga mereka bisa bersaing dengan tenaga kerja dari negara ASEAN lainnya.

“Mereka paling siap menghadapi MEA. Standar kompetensinya sudah sama dengan negara-negara lain. Sebagai contoh standar cleaning service di hotel A pasti sama dengan hotel B di negara lain,“ ujar Hanif di kantor Kemenaker di Jakarta, Kamis (07/1).

Hingga kini, kata Hanif, Pemerintah sudah menetapkan 85 SKKNI, dan mengakreditasi 725 Balai Latihan Kerja dan Lembaga Pelatihan Kerja Swasta (LPKS). Selain itu, Pemerintah telah menggelar pelatihan wirausaha dan keterampilan kerja untuk 717.454 calon tenaga kerja, dan melakukan sertifikasi terhadap 167 Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP). Enam Balai Latihan Kerja (BLK) baru juga dibangun di Banyuwangi, Sidoarjo, Bantaeng, Pangkajene, Belitung dan Lombok Timur.

"Ini semua bagian penting kita menyiapkan angkatan kerja agar mampu memimpin persaingan di MEA. Kita harus tingkatkan daya saing pekerja Indonesia agar bisa memenangkan persaingan di tingkat ASEAN dan Internasional," katanya.

Memasuki MEA, kesiapan tenaga kerja jadi salah satu kunci. Daya saing pekerja Indonesia perlu dibangun lewat kerjasama antara dunia usaha, pekerja dan pemerintah. Kemenaker juga telah bersinergi dengan beberapa pihak seperti Kementerian/Lembaga, Kadin, Apindo dan Asosiasi Profesi untuk melakukan percepatan peningkatan kompetensi dan daya saing pekerja Indonesia.

Sekjen OPSI, Timboel Siregar, mengatakan MEA membuat arus tenaga kerja asing (TKA) dari negara ASEAN akan mudah masuk ke Indonesia. Dengan demikian, ketentuan tentang penggunaan TKA sebagaimana diatur UU Ketenagakerjaan bisa jadi tidak efektif lagi. Misalnya, Pasal 43 ayat (2) huruf d junto Pasal 45 ayat (1) huruf a UU yang mewajibkan tenaga kerja Indonesia yang menjadi pendamping TKA untuk alih keahlian dan teknologi. "Kehadiran TKA di era MEA tidak lagi dalam konteks alih teknologi dan keahlian, tapi TKA hadir ke Indonesia hanya untuk bekerja seperti pekerja lokal," urai Timboel.

Walau Indonesia masuk MEA bukan berarti regulasi yang ada di tingkat lokal ditabrak. Timboel mengusulkan agar pemerintah patuh terhadap UU Ketenagakerjaan. Penegakan hukum ketenagakerjaan terutama terkait penggunaan TKA harus dilakukan secara serius dan ditingkatkan.

Persoalan lainnya menyangkut kompetensi dan ketersediaan lapangan kerja bagi pekerja lokal. Timboel menyambut baik upaya Menaker dalam melakukan persiapan menghadapi MEA, sebaliknya mengkritik upaya yang dilakukan Kemenaker itu hanya membangun infrastruktur, bukan capaian kuantitas dan kualitas kompetensi pekerja. Pembangunan infrastruktur itu mestinya dilakukan jauh sebelum MEA bergulir. Jika itu dilakukan maka ketika Indonesia masuk MEA diharapkan ada jutaan pekerja lokal yang mengantongi sertifikasi kompetensi sehingga siap bersaing dalam MEA. "Saya menilai pemerintah lambat untuk menciptakan pekerja-pekerja lokal yang kompeten," urai Timboel.

Timboel mencatat di Kepluauan Riau ada 400 ribu pekerja. Dari jumlah itu hanya 1.400 orang yang punya sertifikasi kompetensi. Menurutnya jumlah itu sangat kecil dan ia yakin hal serupa juga terjadi secara nasional.

Melihat hal itu Timboel khawatir pengusaha di Indonesia akan lebih memilih tenaga kerja asing (TKA) ketimbang pekerja lokal. Selain itu pengusaha cenderung menyukai merekrut TKA karena pasal 42 ayat (2) UU Ketenagakerjaan menyebut TKA hanya dipekerjakan dalam jangka waktu tertentu. Itu mempermudah pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap TKA daripada pekerja lokal yang berstatus tetap.

"Mengacu UU Ketenagakerjaan, pekerja lokal bisa dikontrak tetapi dalam batas waktu tertentu dan pekerjaan tertentu. Jika pengusaha melanggar pasal tersebut maka si pekerja otomatis menjadi pekerja tetap," urai Timboel.
Tags:

Berita Terkait